Jumat, 01 November 2013

Produk-produk Bank Syari’ah


a.    Produk Pendanaan
1)    Pendanaan dengan prinsip wadi’ah
a)    Giro Wadi’ah
b)    Tabungan Wadi’ah
2)    Pendanaan dengan Prinsip Qardh
3)    Pendanaan dengan Prinsip Mudharabah
a)    Tabungan Mudharabah
b)    Deposito/Investasi Umum (Tidak Terikat)
c)    Deposito/Investasi Khusus (Terikat)
d)    Sukuk Al-Mudharabah
4)    Pendanaan dengan prinsip Ijarah
a)    Sukuk Al-Ijarah
b.    Produk Pembiayaan
Produk-produk pembiayaan bank syari’ah dapat menggunakan empat pola yang berbeda. (Ascarya, 2011: 123)
1)    Pola bagi hasil
a)    Musyarakah (Syirkah)
Syafe’e (2011: 183) mengatakan Syirkah secara etimologis mempunyai arti percampuran (ikhli-that), yakni bercampurnya salah satu dari dua harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. (Mardani, 2012: 220)
Secara temonologis, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, syirkah (Musyarakah) adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. (KHES, pasal 20 ayat 3)
Ascarya dalam bukunya Akad dan Produk Bank Syari’ah (2011:51) Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerjasama dengan mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan.Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi tu tidak merupakan keharusan.Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut.
b)    Mudharabah
Mudharabah adalah suatu akad serikat dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang telah disepakati antara keduanya. (Arifin, 2009: 131)
Mudharabah terbagi atas dua (Antonio, 2011: 97) yaitu mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesiifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.... Nasabah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak bank untuk bebas berinvestasi atau memanfaatkan di jenis usaha apapun selama tidak melanggar prinsif dan aturan syariat.
Sementara yang kedua adalah mudharabah muqayyadah yaitu kebalikan dari mudharabah mutlaqah. Si mudharib dalam yang kedua ini dibatasi oleh batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
2)    Pola Jual-Beli
a)    Murabahah
Abdul Manan (2012: 223) mengatakan bahwa Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dengna nasabah. Dalam akad murabahah,  penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian mensyaratkan atas laba dalam jumlah tersebut. Pada akad murabahahh, bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah keuntungan atau di-merk-up.
b)    Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjual belikan belum ada.Oleh karenan itu, barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran dilakukan tunai.Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual.Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. (Abdul Manan, 2012: 224)
c)    Istishna
Jual-beli Istishna merupakan bentuk khusus dari akad jual beli salam. Oleh karena itu ketentuan dalam Jual-beli istishna mengikuti ketentuan dan aturan jual-beli salam. Jual-beli Istishna adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen pembuat barang).Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan system pembayaran.Kesepakatan harga dapat dilakukan melalui tawar menawar dan system pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran perbulan atau di belakang. (Asro dan Kholid, 2011: 71)
3)    Pola sewa
a)    Ijarah
Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu. (Antonio, 2011: 117)
b)    Ijarah Muntahiya bit-tamlik
Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang di akhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.Sifat pemindahahn kepemilikan inilah yang membedakan dengan Ijarah biasa. (Antonio, 2011: 118)
c.    Produk Jasa Perbankan
1)    Al-Wakalah
Zulkifli (2003: 32) mengemukakan bahwa Al-Wakalahberarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandate. Menurut istilah yang dimaksud dengan wakalah adalh akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa. (Abdul Manan, 2012: 228).
2)    Al-Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah berarti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang padatanggung jawab orang lain sebagai penjamin. (Antonio, 2011: 123)
3)    Al-hawalah
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulam, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhilI (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. (Antonio, 2011: 126)
4)    Ar-Rahn
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai. (Antonio, 2011: 128)

5)    Al-Qardh
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literature fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dak hokum transaksi komersial. (Antonio, 2011: 131)

. Prinsip-Prinsif Operasional Bank Syari’ah



1
Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil dan sesuai prinsip syari’ah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam. Untuk mewujudkan visi tersebut maka setiap kelembagaan keuangan syari’ah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut. (Wirdyahningsih, 2005: 15)
a.    Menjauhkan Diri dari Kemungkinan Adanya Unsur Riba
1)    Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti menetapkan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Mengapa? Periksa QS. Luqman (31): 34. Intinya: Hanya Allah Subhanahu Wata’ala sajalah yang akan mengetahui apa yang akan terjadi esok.
2)    Menghindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. Mengapa? Periksa QS. Ali-Imran (3): 130. Intinya: Allah SWT. Melarang memakan riba berlipat ganda.
3)    Menghindari penggunaan sistem perdagangan/ penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperolah kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Mengapa? Periksa Hadits Shahih Muslim Bab Riba nomor 1551 hingga 1567. Intinya: memperdagangkan/menyewakan barang ribawi dengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba.
4)    Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti pendapatan bunga pada bank konvensional. Mengapa? Periksa terjemahan hadits shahih Muslim oleh Ma’mur Daud Bab Riba nomor 1569 hingga 1572. Intinya: membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam hadits, harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari yang punya utang pada saat jatuh tempo.
b.    Menerapkan Sistem Bagi Hasil dan Jual-Beli
Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan surah an-Nisa (4): 29 yang intinya: Allah SWT. telah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan ribaserta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi dengan kelembagaan ekonomi Islam harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasih dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip, “ada barang/jasa dulu baru ada uang”, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindarkan penyalagunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.
Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
1)    Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank ini (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dan  (Mudharib) yang sifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya usaha bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana terbut mengandapdan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan bisa satu hari.
2)    Pembiayaan investasi ialah pmbiayaan baik sepenuhnya (al-Mudharabah) atau sebagai (al-Musyarakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada wwaktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengankesepakatan.
Hal yang serupa juga di ungkapkan oleh Basir (2011: 67) bahwa Bank syariah, prinsif-prinsif yang menjadi dasar dalam menjalankan kegiatan usahanya, baik dalam hal menghimpun maupun menyalurkan dari dan kepada masyarakat, tidak lain adalah prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah Islam. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang diterapkan tidak mengandung unsur-unsur seperti maisir (perjudian), gharar (spekulasi), dan riba (bunga).