Rabu, 24 Mei 2017

AL-QUR’AN DAN MASALAH KEMISKINAN


AL-QUR’AN DAN MASALAH KEMISKINAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum. Fenomena ini terdapat pada berbagai masyarakat, baik yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun non-Islam. Menurut Parsudi Suparlan dalam bukun Hamdar Arraiyyah, kemiskinan bukanlah sesuatu yang terwujud sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek yang utama adalah sosial dan ekonomi.[1]
Kemiskinan diartikan seagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sangup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesui dengan teraf kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memamfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Keadaan miskin tidak dikehendaki oleh manusia sebab dalam kondisi seperti itu mereka dalam keadaan serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan berbagai kebutuhan utamanya di dalam kehidupannya, terutama dari segi material. Akibat dari ketidakmampuan di bidang material, orang miskin mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizinya, memperoleh pendidikan, modal kerja, dan sejumlah kebutuhan utama lainnya. Akibat lain yang mungkin timbul di antara mereka, antara lain, kurangnya harga diri, moralitas yang rendah, dan kurangnya kesadaran beragama.
Kemiskinan merupakan kondisi hidup yang sangat memberatkan bagi yang menanggungnya. Kemiskinan juga dapat mengancam jiwa manusia, sehingga apa saja bisa dipertaruhkan termasuk akidah sekalipun. Karena itu, Islam tidak mungkin dapat membiarkan kasus ini, karena ia menyangkut keselamatan jiwa manusia. Namun persoalannya adalah bagaimana konsep al-Qur’an (Islam) dalam menangani masalah ini. Para ulama telah berusaha mengungkap nilai-nilai al-Qur’an yang abadi dan universal dalam kaitannya dengan kemiskinan, kemudian dirumuskan sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Dalam bidang aqidah, kajian tentang kemiskinan terkait dengan pembahasan mengenai jabariah dan qadariyah. Sesuai dengan sudut pandang tersebut, kajian tentang kemiskinan hanya sampai pada tingkat doktrin, tidak operasional. Dalam bidang tasawuf, kajian tersebut juga sampai pada tingkat doktrin dengan rumusan kemiskinan adalah kesucian. Berbeda dengan kedua bidang di atas, bidang fiqih mengkaji kemiskinan bukan pada tataran doktrin, tetapi pada tingkat operasional dengan penekanan pada penyelesaian dalam bentuk pemenuhan materi.
Dengan merujuk pada uraian-uraian di atas, berimplikasi pada pentingnya pembahasan lebih lanjut mengenai kemiskinan, karena masalah kemiskinan tersebut banyak pula dibicarakan dalam al-Qur’an.

PEMBAHASAN
Pengertian Kemiskinan
Kata “ miskin”  sering kali berdampingan dengan kata fakir”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kemiskinan, yang berakar kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah) dan kemiskinan berarti hal miskin atau keadaan miskin.[2] Kata lain yang hampir sama menggambarkan keadaan seperti ini adalah “fakir” yang berarti orang yang sangat kekurangan, atau orang yang terlalu miskin, orang yang sengaja membuat dirinya dalam serba kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.[3] Dalam bahasa Arab kata “miskin” berasal dari kataسكن   yang berarti diam atau tidak bergerak.[4] Sedang kata “fakir” dari kata فقر yang pada mulanya berarti tulang punggung.[5]Faqīr adalah orang yang patah tulang punggungnya dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berar sehingga “mematahkan” tulang punggungnya.[6] Faqīr dan miskīn dapat pula dijumpai secara bergandengan dalam al-Qur’an ketika membicarakan orang-orang mustahiqqūn dalam penerimaan zakat, yaitu pada QS. al-Taubah (9): 60. Dalam hal ini, al-Tabariy secara tegas membedakan arti keduanya, yaitu bahwa faqīr adalah orang yang dalam kebutuhan tetapi dapat menjaga diri untuk tidak meminta-minta dan miskin adalah orang yang dalam kebutuhan suka merengek-rengek dan meminta-minta.[7] Pendapat ini didasarkan pada arti kata maskamah yang antara lain terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 61, yakni ;
وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّۧنَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ  ٦١
Terjemahnya:
Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Pengertian yang sama, juga terdapat dalam hadis yang matannya adalah ;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى e قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ أَوِ التَّمْرَتَانِ أَوِ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ الْمُتَعَفِّفُ ... [9]
Artinya :
Adalah Nabi saw pernah bersabda : yang dikatakan dengan orang miskin bukanlah orang-orang yang diberikan satu dua buah kurma, atau yang makan satu suap atau dua suap, akan tetapi yang dimaksud orang miskin adalah orang-orang yang dapat menahan diri dari meminta-minta…
Jika ayat dan hadis di atas, dikaitkan dengan argumentasi yang dikemukakan oleh al-Tabariy, nampak bahwa bukanlah kajian liguistik karena ungkapan semacam itu sudah lumrah, dan padanannya sama jikalau dikatakan “orang kuat yang sebenarnya bukanlah yang kuat bergulat, tetapi yang dapat menahan amarahnya”. Hal ini didukung oleh al-Khattābiy, seperti dikutip oleh Yūsuf al-Qardāwi bahwa yang dimakasud dalam hadis tersebut adalah menunjuk kepada arti miskin yang tampak dan sudah dikenal, yaitu mereka yang selalu datang berkeliling meminta-minta.[10]
Menurut Yusuf al-Qardāwi, termasuk pula fakir atau miskin mereka yang mempunyai tempat tinggal yang layak tetapi kebutuhan hidupnya tidak mencukupi meskipun tidak harus menjual rumahnya itu. Demikian juga mereka yang mempunyai ladang, namun penghasilannya tidak mencukupi tetap dianggap sebagai fakir atau miskin. Termasuk orang yang memiliki kekayaan tetapi tidak dapat memanfaatkan kekayaan itu karena sesuatu hal, misalnya ditahan oleh penguasa atau berada di tempat yang jauh atau orang yang berpiutang lebih dari satu nisab tetapi tidak dapat dipergunakannya juga termasuk dalam kategori fakir atau miskin.
Memperhatikan akar kata “miskin” yang berarti diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa factor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedangkang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh manusia lain, disebut juga kemiskinan struktural.
Imam Khattābi pernah menyatakan bahwa Imam Mālik dan Syāfi’ī  pernah berkata “Tidak ada batasan yang jelas tentang siapa yang disebut sebagai orang kaya”. Seseorang dianggap kaya atau miskin diukur dari sempitnya hidup. Jika ia berkecukupan maka haram baginya mengambil zakat dan sebaliknya jika ia membutuhkan maka halal untuk menerimanya.[11] 
Dari uraian di atas, batasan kemiskinan sangat sulit untuk ditetapkan karena para fuqaha masing-masing menganggap miskin mereka yang meskipun  memiliki harta yang sampai satu nisab atau lebih tapi kalau tidak memenuhi kebutuhannya tetap dianggap sebagai orang miskin. Karena itu, orang yang memiliki harta yang melimpah sekalipun bila itu tidak dapat memenuhi kebutuhannya masih belum dapat dianggap sebagai orang kaya.
Menentukan batasan terkait dengan kriteria “kecukupan” yang tentu saja sangat relatif sifatnya, karena kemiskinan terkait dengan lingkungan sosial tertentu dan kurun waktu tertentu, di mana kepentingan manusia dan kebutuhannya berbeda-beda. Yang jelas, dari uraian di atas bahwa masalah kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh para fuqaha sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu : pertama ; harta benda yang dimiliki dan berada di tempat, kedua ; mata pencaharian yang sah menurut hukum dan ketiga ; kecukupan akan kebutuhan hidup yang pokok. Atas dasar itulah, Ali Yafie merumuskan defenisi, yakni ;
“Miskin adalah barang siapa yang memiliki harta benda atau mata pen-caharian tetap, hal mana salah satunya (harta atau mata pencaharian) atau dua-duanya hanya menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan pokoknya, misalnya ditetapkan indeks dengan angka 10, maka seseorang yang memiliki atau memperoleh penghasilan 5 hingga 9 itulah dia yang digolongkan sebagai orang miskin. Dalam hal ini tidak termasuk adanya ia memiliki tempat tinggal, pakaian, buku-buku ilmu pengetahuan dan harta benda yang berada di tempat yang jauh atau hartanya itu terkait dengan suatu waktu tertentu, sehingga tidak berada dalam kekuasaannya.[12]   
Dari sejumlah defenisi yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa kemiskinan itu meliputi; tidak mempunyai apa-apa, baik harta maupun mata pencaharian; memiliki harta yang nilainya kurang dari satu nisab; tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi diri sendiri, keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya, meskipun memiliki harta mencapai nilai satu nisab atau lebih; hanya memiliki harta   yang diperlukan dan dipergunakan sehari-hari.
B.   Redaksi Ayat-ayat tentang Kemiskinan  dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an terdapat 23 ayat yang berarti miskin, 8 (delapan) dari kata ûüÅ3ó¡ÏB, 3 (tiga) dari kata $YZŠÅ3ó¡ÏBdan  12 dari kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur  berikut uraiannya:
1.      Kata  ûüÅ3ó¡ÏB
Diantara ayat-ayat yang mengggunakan redaksi ûüÅ3ó¡ÏB yaitu:
a.    Al-Baqarah/2: 184
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ١٨٤
184.  (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Terjemahnya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[13]
Ayat ini turun berkenaan dengan Maula (hamba yang sudah dimerdekakan) Qais bin Assaib yang memaksakan diri berpuasa, padahal dia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini ia berbuka dan membayar fidya dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.[14]
b.    Al-Isra/17: 26
وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا  ٢٦
Terjemahnya:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.[15]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. memberikan tanah di Fadak (tanah yang diperoleh Rasulullah dari pembagian ghanimah) kepada Fatimah.[16]
c.    Ar- Rum/30: 38
فََٔاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ٣٨

Terjemahnya:
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. 17]
Selain dari ayat di atas, kata ûüÅ3ó¡ÏB juga terdapat dalam surah Al-Qalam/68: 24Al-Haqqah/69: 34Al-Muddassir/74: 44Al-Fajr/89: 18dan  Al-Ma>u>n/107: 3

2.    Kata $YZŠÅ3ó¡ÏB
a.    Al-Mujadalah/58: 4
فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ  ٤
Terjemahnya:
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.[18]
Ayat ini turun atas pengaduan Khaulah binti Tsa’labah tentang suaminya. Ayat ini melukiskan bahwa Allah mendengar pengaduannya dan menetapkan hukum dhihar, serta melarangnya.[19]
b.    Al- Insan/76: 7-11
يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا  ٧ وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا  ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا  ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا  ١٠ فَوَقَىٰهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمِ وَلَقَّىٰهُمۡ نَضۡرَةٗ وَسُرُورٗا  ١١
Terjemahnya:
7) Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.; 8) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan; 9) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih; 10) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan; 11) Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.[20]
c.    Al-Balad/90: 16
أَوۡ مِسۡكِينٗا ذَا مَتۡرَبَةٖ  ١٦
Terjemahnya:
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.[21]
3.      Kata ûüÅ|¡uKø9$#ur
a.    Al-Baqarah/2: 83
وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ لَا تَعۡبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَانٗا وَذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ثُمَّ تَوَلَّيۡتُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنكُمۡ وَأَنتُم مُّعۡرِضُونَ  ٨٣
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.[22]

b.    Al-Baqarah/2: 177
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ  ١٧٧
Terjemahnya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang -orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.[23]
c.    An- Nisa/4: 8
وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا  ٨
Terjemahnya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.[24]
M. Quraish Shihab dalam buku Tafsir al-Misbah dikatakan bahwa memang bukanlah susuatu yang terpuji apabila ada yang hadir atau mengetahui adanya pembagian rezki, lalu yang hadir dan mengetahui itu tidak diberi, apalagi jika diketahui oleh yang mendapat bagian itu bahwa mereka adalah kerabat dan kaum lemah yang membutuhkan uluran tangan.[25]
d.    Al- Maidah/5: 89
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ  ٨٩
Terjemahnya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).[26]
Sealin dari ayat-ayat di atas kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur  juga terdapat dalam surah al-Baqarah/2 : 215, An-Nisa/, Al-Anfal/8 : 41, Al-Maidah/5 : 95, At-Taubah/9 : 60, Al-Kahfi/18 : 79, An-Nur/24 : 22, dan Al-Hasyr/59: 7
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kebanyakan menjelaskan tentang hak-hak orang miskin yang wajib kita berikan bagi yang mampu, dan itu merupakan salah satu cara untuk memberantas kemiskinan. Keadaan masyarakat tidak akan teratur, jika mereka tidak memperhatikan dan kedaan mereka tidak diperbaiki, akan menjadi beban masyarakat.
C.   Tafsir Ayat-ayat tentang Kemiskinan
Ketika dicermati redaksi ayat-ayat al-Qur’an tentang kemiskinan, maka ada 3 tema yang akan menjadi fokus pembahasan yaitu memberi makan kaum miskin, pengentasan kemiskinan dan anjuran untuk berusaha atau bekerja.
1.      Memberi makan kaum miskin
Ahmad Musthafa al-Maraghi membagi orang miskin dalam dua golongan; pertama, orang miskin yang ma’zur (dikarenakan uzur), mereka wajib diberi belas kasihan yaitu orang yang kemiskinannya disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuannya mencari nafkah, atau disebabkan terjadi bencana alam yang memusnahkan hartanya. Orang seperti ini wajib dibantu dengan harta yang menutupi kebutuhan dan menolongnya untuk mendapat mata pencaharian, kedua: orang miskin yang gairu ma’zur (tidak akan dikenakan uzur) jika mengabaikannya, yaitu orang yang kemiskinannya disebabkan oleh perbuatannya yang suka memboroskan dan menyia-nyiakan harta. Orang seperti ini cukup dengan diberi nasihat dan petunjuk untuk mendapatkan mata pencaharian.[27]
Memberi makan kaum miskin adalah salah satu betuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum dikalangan muslim yang berbudi luhur dan saleh. Ganjaran untuk amal tersebut banyak sekali dan baik dalam al-Qur’an maupun Nabi kaum muslimin mendorong kaum mukminin untuk memberi makan kaum miskin dan mereka yang memerlukan. Ayat yang relevan yaitu QS. Al-Hajj/22: 28;
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَ  ٢٨
Terjemaahnya:
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.[28]
Di ayat lain dijelaskan, bahwa memberi makan kaum miskin adalah mengharapkan keridhaan Allah swt. Sebagaimana dalam QS. al-Insan:76:7-11;
يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا  ٧ وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا  ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا  ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا  ١٠ فَوَقَىٰهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمِ وَلَقَّىٰهُمۡ نَضۡرَةٗ وَسُرُورٗا  ١١
Terjemahnya:
Mereka menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati..[29]
Anjuran memberi makan kaum miskin di samping ditegaskan dalam dalam Alquran, juga ditegaskan dalam hadis Nabi saw, yang artinya sebagai berikut:

Abdullah bin Amr melaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “ Bertakwalah kepada yang Maha Pengasih, berilah makanan dan sebarkanlah keselamatan, maka kalian akan memasuki syurga dengan selamat (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Di hadis yang lain diceritakan dari Abu Hurairah melaporkan bahwa seseorang mengeluh kepada Nabi saw tentang kesusahan hatinya. Beliau bersabda: “Usapkan  tanganmu ke kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin” (Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa memberi makan orang yang lapar atau miskin adalah sedekah yang terbaik dan suatu tindakan  kebajikan yang merupakan salah satu sendi ekonomi Islam.
2.      Pengentasan kesmiskinan 
Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya sendiri yang melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan. Karena itu, langka pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah meluruskan persepsi yang keliru itu. Dalam konteks penjelasan al-Qur’an tentang kemiskinan ditemukan banyak ayat-ayat yang memuji kecukupan, bahkan al-Qur’an menganjurkan untuk memperoleh kelebihan. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Jumu’ah/62: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  ١٠
Terjemahnya:
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.[30]
            Bahkan, untuk memperoleh kelebihan, Walau musim ibadah haji sekalian Allah swt. membenarkannya, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah/2: 198.

لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ ...  ١٩٨
Terjemahnya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu[31]
            Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasaannya. Islam mengajarkan apa yang dinamai qana’ah, namun bukan berarti menerima apa adanya, karena seseorang tidak dapat menyandang sifat qana’ah kecuali setelah melalui lima tahap:
a.       Menginginkan kepemilikan sesuatu.
b.      Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya itu.
c.       Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara sukarela dan senang hati.
d.      Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya.[32]
   Lebih lanjut M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an menyatakan bahwa dalam rangka mengentaskan kemiskinan, al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga hal pokok:
1). Kewajiban setiap individu
Kewajiban terhadap individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh al-Qur’an, karena hal inilah yang sejalan dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya. Firman Allah swt. Dalam QS. Ali Imran/3: 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ  ١٤
Terjemahnya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[33]
                Ayat ini secara tegas menggaris bawahi dua naluri manusia, yaitu naluri seksual yang dilukiskan sebagai kesenangan kepada syahwat wanita, dan naluri kepemilikan yang dipahami dari ungkapan kesenangan kepada harta yang banyak.[34]
Ibnu Khaldun dalam muqaddimah-nya menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya disebut rezeki, dan bila melebihinya disebut karb (hasil usaha).[35]
Dengan demikian, kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha lain untuk keperluan itu lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia. Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakekat kemanusiaannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarka al-Qur’an untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu.
2). Kewajiban Orang Lain/ Masyarakat
Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan kewajiban masyarakat secara umum tercermin dalam bentuk zakat dan sedekah wajib. Penanggulangan problem kemiskinan kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan,[36]seringkali orang tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa :
وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ  ١٩
Terjemahnya :
“Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak meminta)”. (QS. al Dzariyaat/51: 19)[37]
Dalam ayat tersebut secara jelas adanya hak dan kewajiban yang mempunyai kekuatan tersendiri. Karena keduanya dapat melahirkan “paksaan” kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dari lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya.
Dalam konteks inilah al-Qur’an menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya.
a). Jaminan satu rumpun keluarga
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa :
وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا  ٢٦
Terjemahnya :
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. Al Isra’/17: 26).[38]
Kedua ayat tersebut menggarisbawahi adanya hak bagi keluarga yang tidak mampu terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu Hanifah dijelaskan bahwa memberi nafkah kepada anak dan cucu, atau ayah dan datuk merupakan kewajiban walaupun mereka bukan muslim. Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah mencakup sandang, pangan, papan dan perabotan, pelayan (bagi yang memerlukan), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta belanja untuk istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.[39]
 b). Zakat
Zakat sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan tidak semata-mata bertumpu kepada zakat fitrah saja, tetapi dimaksudkan adalah segala bentuk kewajiban-kewajiban keuangan lainnya yang ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga berdasarka tugas manusia sebagai khalifah di atas bumi ini.
Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang pada hakekatnya adalah milik Allah swt. manusia diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dan kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka. Hal ini dipahami dari surah Muhammad (47) : 36-37 yang berbunyi:

إِنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۚ وَإِن تُؤۡمِنُواْ وَتَتَّقُواْ يُؤۡتِكُمۡ أُجُورَكُمۡ وَلَا يَسَۡٔلۡكُمۡ أَمۡوَٰلَكُمۡ  ٣٦ إِن يَسَۡٔلۡكُمُوهَا فَيُحۡفِكُمۡ تَبۡخَلُواْ وَيُخۡرِجۡ أَضۡغَٰنَكُمۡ  ٣٧

Terjemahnya:
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertaqwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu”.(QS. Muhammad/47: 36-37).[40]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt sebagai pemilik segala sesuatu mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian hartanya untuk orang yang memerlukan. Karena keberhasilan yang diperoleh itu atas keterlibatan semua pihak, termasuk fakir miskin.
Zakat harta yang diberikan kepada fakir miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya selama setahun atau bahkan seumur hidup. Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing yang ditopang oleh peningkatan kualitasnya. Itulah sebabnya, Islam melarang pengkonsentrasian modal di tangan orang-orang kaya saja, karena hal itu menyebabkan orang fakir miskin tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki demi meraih prestasi di bidang ekonomi. Memiliki potensi saja tanpa didukung oleh modal seseorang tidak akan dapat mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara optimal.
Agar perputaran harta tetap pada prinsip fi sabilillah, maka aktifitas tersebut harus diletakkan pada prinsip keuntungan atau kerugian bersama secara seimbang antara pemilik harta benda dengan masyarakat penggunanya. Ini berarti segala bentuk eksploitasi yang merugikan di salah satu pihak dan menguntungkan di pihak lain harus benar-benar dihindari. Salah satu bentuk eksploitasi tersebut adalah riba.
Gagalnya fungsionalisasi dan pengorganisasian sumber-sumber material termasuk zakat akan berpengaruh terhadap lestarinya kemiskinan. Berdasar pada ayat 103 surah al Taubah, sekali lagi al-Qur’an menuntut keadilan di bidang ekonomi dengan memerintahkan agar dipungut zakat dengan maksud untuk mewujudkan kebersihan dan ketentraman masyarakat, khususnya untuk kepentingan orang yang berharta itu sendiri dan umumnya masyarakat luas. Tentu saja harta dari zakat hanyalah salah satu dari sumber komoditas ekonomi dan masih banyak lagi sumber-sumber lain yang perlu digali untuk dimanfaatkan.
3). Kewajiban Pemerintah
Pemerintah berkewajiban mencukupi kebutuhan setiap warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting diantaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi.[41]Otoritas pemerintah/ penguasa yang diberikan al-Qur’an untuk mengumpulkan segala jenis pajak tersebut terkait dengan sifat amanah mereka. Jika mereka korup, akan hilang kepercayaan masyarakat kepada mereka. Selanjutnya yang terjadi adalah masyarakat melaksanakan sendiri kewajiban-kewajiban keharta bendaan mereka yang berakibat kurang optimalnya realisasi fungsi pajak/ zakat itu sendiri bagi upaya pengentasan kemiskinan.
3.      Anjuran untuk berusaha dan bekerja
Para ahli ilmu sosial sependapat sebagaimana dinyatakan Parsudi Suparlan, bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu sendiri bukanlah suatu gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem ekonomi. Dalam kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya.[42]
Berdasarkan pendirian tersebut, dapat dikemukakan bahwa sebab-sebab terjadinya kemiskinan terkait dengan model interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri dengan sesamanya, dengan alam dan dengan kondisi masyarakat. Hal ini tambah jelas apabila kita perhatikan akar kata “miskin” itu sendiri yang berarti diam atau tidak bergerak, diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah yang artinya adalah yang bergerak, seperti yang terdapat dalam QS. Hūd (11): 6 :
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ  ٦
Terjemahnya:
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).[43]
Ayat tersebut menjamin siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Hal ini dipertegas dalam QS. Ibrāhim (14): 34, yakni وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ  (Dan Dia telah memberikan kepadamu  dari segala apa yang kamu usahakan kepadaNya). Sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Al-Qur’an menyatakan bahwa alam semesta ini ditundukkan kepada manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. al-Jāśiyah (45): 13, yakni;
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ  ١٣
Terjemahnya :
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.[44]
Berpijak dari ayat ini, dapat dinyatakan bahwa alam semesta merupakan suatu sumber daya yang siap didayagunakan untuk kepentingan manusia. Namun di sisi lain, sikap manusia yang digambarkan Tuhan dalam QS. al-Rum (30): 41, yakni ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia) menjadikan sebagian manusia tidak dapat memperoleh dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut.
Kemiskinan terjadi akibat ketidakseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu yang diistilahkan dalam QS. Ibrāhim (14): 34 tersebut dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk mengangkatnya kepermukaan, atau untuk menemukan alternatif pengganti.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat simpulkan bahwa:
1.      Kemiskinan adalah suatu kondisi yang muncul akibat dari berbagai faktor, baik yang bersumber dari orang yang bersangkutan maupun yang bersumber dari luar seperti kondisi alam, sosial dan struktural. Kemiskinan terkait dengan lingkungan sosial tertentu dan kurun waktu tertentu, di mana kepentingan manusia dan kebutuhannya berbeda-beda. Para fuqaha sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu : pertama ; harta benda yang dimiliki dan berada di tempat, kedua ; mata pencaharian yang sah menurut hukum dan ketiga ; kecukupan akan kebutuhan hidup yang pokok.
2.      Di dalam al-Qur’an terdapat 23 ayat yang berarti miskin,  8 (delapan) dari kata ûüÅ3ó¡ÏB, 3 (tiga) dari kata $YZŠÅ3ó¡ÏB, dan  12 dari kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur. kebanyakan menjelaskan tentang hak-hak orang miskin yang wajib kita berikan bagi yang mampu, dan itu merupakan salah satu cara untuk memberantas kemiskinan. Keadaan masyarakat tidak akan teratur, jika mereka tidak memperhatikan dan kedaan mereka tidak diperbaiki, akan menjadi beban masyarakat.
3.      Fokus pembahasan tentang kemiskinan dengan pendekatan maudui’ yaitu a) memberi makan kaum miskin adalah salah satu betuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum dikalangan muslim yang berbudi luhur dan saleh, b) pengentasan kemiskinan, secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok, yaitu : (1) kewajiban setiap individu yang tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha. (2) kewajiban orang lain/ masyarakat tercermin dalam jaminan dalam satu rumpun keluarga dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib. (3) kewajiban pemerintah melalui sumber-sumber dana yang sah, seperti pajak, baik dalam bentuk perorangan maupun pajak-pajak lainnya, dan c) anjuran untuk berusaha atau bekerja bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah yang artinya adalah yang bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghi juz 5. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1374.Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly . Cet. 2; Semarang: Toha Putra, 1993.
Al-Tabariy, Muhammad Ibnu Jarīr. Jāmi’ al-Bayān li Tafsīr al-Qur’ān, jilid VI. Bairūt; Dār al-Fikr, 1392 H/1972 M.
Arraiyyah, M. Hamdar. Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur’an.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 8777, pada Bāqy Musnad al-Mukaśśīn.
`Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. 25; Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Qardawi, Yūsuf. Fiqh al-Zakah ; Dirasah Muqāranah li Ahkāmihā wa Falsafātihā fī Daw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, juz II. Bairūt; Muassasah al-Risālah, 1414 H/1994  M.
Shaleh, Qamaruddin dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an. Cet. XX; Bandung: CV. Diponegoro, 1999. 
Shihab, M. Quraish,Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan UmatCet. II; Bandung; Penerbit Mizan, 2014.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial ; Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah. Bandung: Mizan, 1995.









[1]M. Hamdar Arraiyyah, Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 1.

[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 587.
[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 239.
[4]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. 25; Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), h. 464.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 1066.
[6]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. II; Bandung; Penerbit Mizan, 2014), h. 592.
[7]Muhammad Ibnu Jarīr al-Tabariy, Jāmi’ al-Bayān li Tafsīr al-Qur’ān, jilid VI (Bairūt; Dār al-Fikr, 1392 H/1972 M), h. 109-111.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 19.
[9]CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 8777, pada Bāqy Musnad al-Mukaśśīn.
[10]Yūsuf Qardawi, Fiqh al-Zakah ; Dirasah Muqāranah li Ahkāmihā wa Falsafātihā fī Daw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, juz II (Bairūt; Muassasah al-Risālah, 1414 H/1994  M), h. 545.
[11]Yusuf  Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 554
[12]Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial ; Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 1995), h. 170-171.
[13]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 44.
[14]Qamaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an (Cet. XX; Bandung: CV. Diponegoro, 1999), h. 55. 
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 428.
[16]Qamaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, h. 296.
[17]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.  647.
[18]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 909.
[19]Qamaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, h. 500.
[20]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1004.
[21]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1062. Ayat ini menceritakan bahwa hidup manusia penuh dengan perjuangan.
[22]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 23.
[23]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 43.
[24]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 116.
[25]M. Quraish Shihab, Tafsir al- Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an  Voume 2 (Cet. V; Jakarta: Lentera Hari, 2012), h. 425.
[26]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 176.
[27]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi juz 5 (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1374)Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly (Cet. 2; Semarang: Toha Putra, 1993), h. 55.  
[28]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h
[29]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1004.
[30]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 938.
[31]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 48.
[32]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 597.
[33]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77.
[34]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 598.
[35]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 418.
[36]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 600.
[37]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 859.
[38]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 428.
[39]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 602.
[40]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 835.
[41]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir  Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 604.
[42]Parsudi Suparlan (ed), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 11-12.
[43]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 327.
[44]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 816.