AL-QUR’AN DAN MASALAH KEMISKINAN
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang
bersifat umum. Fenomena ini terdapat pada berbagai masyarakat, baik yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun non-Islam. Menurut Parsudi
Suparlan dalam bukun Hamdar Arraiyyah, kemiskinan bukanlah sesuatu yang
terwujud sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai
hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia.
Aspek-aspek yang utama adalah sosial dan ekonomi.[1]
Kemiskinan diartikan seagai suatu keadaan
dimana seseorang tidak sangup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesui
dengan teraf kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu untuk memamfaatkan
tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Keadaan miskin tidak
dikehendaki oleh manusia sebab dalam kondisi seperti itu mereka dalam keadaan
serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan berbagai kebutuhan utamanya di dalam
kehidupannya, terutama dari segi material. Akibat dari ketidakmampuan di bidang
material, orang miskin mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizinya,
memperoleh pendidikan, modal kerja, dan sejumlah kebutuhan utama lainnya.
Akibat lain yang mungkin timbul di antara mereka, antara lain, kurangnya harga
diri, moralitas yang rendah, dan kurangnya kesadaran beragama.
Kemiskinan merupakan kondisi hidup yang
sangat memberatkan bagi yang menanggungnya. Kemiskinan juga dapat mengancam
jiwa manusia, sehingga apa saja bisa dipertaruhkan termasuk akidah sekalipun.
Karena itu, Islam tidak mungkin dapat membiarkan kasus ini, karena ia
menyangkut keselamatan jiwa manusia. Namun persoalannya adalah bagaimana konsep
al-Qur’an (Islam) dalam menangani masalah ini. Para ulama telah berusaha
mengungkap nilai-nilai al-Qur’an yang abadi dan universal dalam kaitannya
dengan kemiskinan, kemudian dirumuskan sesuai dengan bidang dan keahlian
masing-masing. Dalam bidang aqidah, kajian tentang kemiskinan terkait dengan
pembahasan mengenai jabariah dan qadariyah. Sesuai dengan sudut pandang tersebut,
kajian tentang kemiskinan hanya sampai pada tingkat doktrin, tidak operasional.
Dalam bidang tasawuf, kajian tersebut juga sampai pada tingkat doktrin dengan
rumusan kemiskinan adalah kesucian. Berbeda dengan kedua bidang di atas, bidang
fiqih mengkaji kemiskinan bukan pada tataran doktrin, tetapi pada tingkat
operasional dengan penekanan pada penyelesaian dalam bentuk pemenuhan materi.
Dengan merujuk pada uraian-uraian di atas,
berimplikasi pada pentingnya pembahasan lebih lanjut mengenai kemiskinan, karena masalah kemiskinan tersebut
banyak pula dibicarakan dalam al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Pengertian
Kemiskinan
Kata “ miskin” sering kali
berdampingan dengan kata ‘fakir”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
kemiskinan, yang berakar kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda,
serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah) dan kemiskinan berarti hal
miskin atau keadaan miskin.[2] Kata lain yang
hampir sama menggambarkan keadaan seperti ini adalah “fakir” yang berarti orang
yang sangat kekurangan, atau orang yang terlalu miskin, orang yang sengaja
membuat dirinya dalam serba kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.[3] Dalam bahasa Arab kata “miskin” berasal dari kataسكن yang berarti diam atau tidak bergerak.[4] Sedang kata “fakir” dari kata فقر yang pada mulanya berarti tulang punggung.[5]Faqīr adalah orang yang patah tulang
punggungnya dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berar sehingga
“mematahkan” tulang punggungnya.[6] Faqīr dan miskīn dapat
pula dijumpai secara bergandengan dalam al-Qur’an ketika membicarakan
orang-orang mustahiqqūn dalam penerimaan zakat, yaitu
pada QS. al-Taubah (9): 60. Dalam hal ini,
al-Tabariy secara tegas membedakan arti keduanya, yaitu bahwa faqīr adalah
orang yang dalam kebutuhan tetapi dapat menjaga diri untuk tidak meminta-minta
dan miskin adalah orang yang dalam kebutuhan suka merengek-rengek dan
meminta-minta.[7] Pendapat ini didasarkan pada arti
kata maskamah yang antara lain terdapat dalam QS. al-Baqarah
(2): 61, yakni ;
وَضُرِبَتۡ
عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِۗ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّۧنَ
بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٦١
Terjemahnya:
Lalu ditimpahkanlah
kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah.
Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka
selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Pengertian yang sama, juga terdapat dalam hadis yang matannya
adalah ;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى e قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ
أَوِ التَّمْرَتَانِ أَوِ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّ الْمِسْكِينَ
الْمُتَعَفِّفُ ... [9]
Artinya :
Adalah Nabi saw pernah
bersabda : yang
dikatakan dengan orang miskin bukanlah orang-orang yang diberikan satu dua buah
kurma, atau yang makan satu suap atau dua suap, akan tetapi yang dimaksud orang
miskin adalah orang-orang yang dapat menahan diri dari meminta-minta…
Jika ayat dan hadis di atas, dikaitkan dengan
argumentasi yang dikemukakan oleh al-Tabariy, nampak bahwa bukanlah
kajian liguistik karena ungkapan semacam itu sudah lumrah, dan padanannya sama
jikalau dikatakan “orang kuat yang sebenarnya bukanlah yang kuat bergulat,
tetapi yang dapat menahan amarahnya”. Hal ini didukung oleh al-Khattābiy,
seperti dikutip oleh Yūsuf al-Qardāwi bahwa yang dimakasud dalam hadis
tersebut adalah menunjuk kepada arti miskin yang tampak dan sudah dikenal,
yaitu mereka yang selalu datang berkeliling meminta-minta.[10]
Menurut Yusuf al-Qardāwi, termasuk
pula fakir atau miskin mereka yang mempunyai tempat tinggal yang layak tetapi
kebutuhan hidupnya tidak mencukupi meskipun tidak harus menjual rumahnya itu.
Demikian juga mereka yang mempunyai ladang, namun penghasilannya tidak
mencukupi tetap dianggap sebagai fakir atau miskin. Termasuk orang yang
memiliki kekayaan tetapi tidak dapat memanfaatkan kekayaan itu karena sesuatu
hal, misalnya ditahan oleh penguasa atau berada di tempat yang jauh atau orang
yang berpiutang lebih dari satu nisab tetapi tidak dapat dipergunakannya juga
termasuk dalam kategori fakir atau miskin.
Memperhatikan akar kata “miskin” yang berarti diam atau tidak
bergerak diperoleh kesan bahwa factor utama penyebab kemiskinan adalah sikap
berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan
berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedangkang ketidakmampuan
berusaha antara lain disebabkan oleh manusia lain, disebut juga kemiskinan
struktural.
Imam Khattābi pernah menyatakan bahwa
Imam Mālik dan Syāfi’ī pernah berkata “Tidak ada batasan yang jelas
tentang siapa yang disebut sebagai orang kaya”. Seseorang dianggap kaya atau
miskin diukur dari sempitnya hidup. Jika ia berkecukupan maka haram baginya
mengambil zakat dan sebaliknya jika ia membutuhkan maka halal untuk menerimanya.[11]
Dari uraian di atas, batasan kemiskinan
sangat sulit untuk ditetapkan karena para fuqaha masing-masing menganggap
miskin mereka yang meskipun memiliki harta yang sampai satu nisab
atau lebih tapi kalau tidak memenuhi kebutuhannya tetap dianggap sebagai orang
miskin. Karena itu, orang yang memiliki harta yang melimpah sekalipun bila itu
tidak dapat memenuhi kebutuhannya masih belum dapat dianggap sebagai orang
kaya.
Menentukan batasan terkait dengan kriteria
“kecukupan” yang tentu saja sangat relatif sifatnya, karena kemiskinan terkait
dengan lingkungan sosial tertentu dan kurun waktu tertentu, di mana kepentingan
manusia dan kebutuhannya berbeda-beda. Yang jelas, dari uraian di atas bahwa
masalah kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh para fuqaha sangat tergantung
pada tiga faktor, yaitu : pertama ; harta benda yang dimiliki
dan berada di tempat, kedua ; mata pencaharian yang sah
menurut hukum dan ketiga ; kecukupan akan kebutuhan hidup yang
pokok. Atas dasar itulah, Ali Yafie merumuskan defenisi, yakni ;
“Miskin adalah barang siapa yang memiliki harta benda
atau mata pen-caharian tetap, hal mana salah satunya (harta atau mata
pencaharian) atau dua-duanya hanya menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan
pokoknya, misalnya ditetapkan indeks dengan angka 10, maka seseorang yang
memiliki atau memperoleh penghasilan 5 hingga 9 itulah dia yang digolongkan
sebagai orang miskin. Dalam hal ini tidak termasuk adanya ia memiliki tempat
tinggal, pakaian, buku-buku ilmu pengetahuan dan harta benda yang berada di
tempat yang jauh atau hartanya itu terkait dengan suatu waktu tertentu,
sehingga tidak berada dalam kekuasaannya.[12]
Dari sejumlah defenisi yang dikemukakan di
atas, maka dapat dirumuskan bahwa kemiskinan itu meliputi; tidak mempunyai
apa-apa, baik harta maupun mata pencaharian; memiliki harta yang nilainya
kurang dari satu nisab; tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi diri sendiri,
keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya, meskipun memiliki harta mencapai
nilai satu nisab atau lebih; hanya memiliki harta yang diperlukan dan
dipergunakan sehari-hari.
B. Redaksi
Ayat-ayat tentang Kemiskinan dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an terdapat 23 ayat yang berarti miskin, 8
(delapan) dari kata ûüÅ3ó¡ÏB, 3 (tiga) dari
kata $YZŠÅ3ó¡ÏB, dan 12 dari kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur berikut uraiannya:
1. Kata ûüÅ3ó¡ÏB
Diantara ayat-ayat yang mengggunakan redaksi ûüÅ3ó¡ÏB yaitu:
a. Al-Baqarah/2: 184
أَيَّامٗا
مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ
أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ
إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Terjemahnya:
(yaitu) dalam beberapa
hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.[13]
Ayat ini turun berkenaan dengan Maula (hamba
yang sudah dimerdekakan) Qais bin Assaib yang memaksakan diri berpuasa, padahal
dia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini ia berbuka dan membayar fidya
dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.[14]
b. Al-Isra/17: 26
وَءَاتِ
ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ
تَبۡذِيرًا ٢٦
Terjemahnya:
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.[15]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika
ayat ini turun, Rasulullah saw. memberikan tanah di Fadak (tanah yang diperoleh
Rasulullah dari pembagian ghanimah) kepada Fatimah.[16]
c. Ar- Rum/30: 38
فََٔاتِ
ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ
لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٣٨
Terjemahnya:
Maka
berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada
fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang
beruntung. 17]
Selain dari ayat di atas, kata ûüÅ3ó¡ÏB juga terdapat dalam surah Al-Qalam/68: 24, Al-Haqqah/69: 34, Al-Muddassir/74: 44, Al-Fajr/89: 18, dan Al-Ma>u>n/107: 3
2. Kata $YZŠÅ3ó¡ÏB
a. Al-Mujadalah/58: 4
فَمَن
لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ
فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ
بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ ٤
Terjemahnya:
Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa
(wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.[18]
Ayat ini turun atas pengaduan Khaulah binti
Tsa’labah tentang suaminya. Ayat ini melukiskan bahwa Allah mendengar
pengaduannya dan menetapkan hukum dhihar, serta melarangnya.[19]
b. Al- Insan/76: 7-11
يُوفُونَ
بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا ٧ وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ
مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا
شُكُورًا ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا
يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا ١٠
فَوَقَىٰهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمِ وَلَقَّىٰهُمۡ نَضۡرَةٗ
وَسُرُورٗا ١١
Terjemahnya:
7) Mereka
menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.; 8) Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan; 9) Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih; 10) Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan
kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh
kesulitan; 11) Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari
itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.[20]
c. Al-Balad/90: 16
أَوۡ
مِسۡكِينٗا ذَا مَتۡرَبَةٖ ١٦
Terjemahnya:
atau
kepada orang miskin yang sangat fakir.[21]
3. Kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur
a. Al-Baqarah/2: 83
وَإِذۡ
أَخَذۡنَا مِيثَٰقَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ لَا تَعۡبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ
وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَانٗا وَذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ
ثُمَّ تَوَلَّيۡتُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنكُمۡ وَأَنتُم مُّعۡرِضُونَ ٨٣
Terjemahnya:
Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling.[22]
b. Al-Baqarah/2: 177
۞لَّيۡسَ
ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ
ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي
ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ
وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ
بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ
وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Terjemahnya:
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang -orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.[23]
c. An- Nisa/4: 8
وَإِذَا
حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ
فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٨
Terjemahnya:
Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang baik.[24]
M. Quraish Shihab dalam buku Tafsir al-Misbah
dikatakan bahwa memang bukanlah susuatu yang terpuji apabila ada yang hadir
atau mengetahui adanya pembagian rezki, lalu yang hadir dan mengetahui itu
tidak diberi, apalagi jika diketahui oleh yang mendapat bagian itu bahwa mereka
adalah kerabat dan kaum lemah yang membutuhkan uluran tangan.[25]
d. Al- Maidah/5: 89
لَا
يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم
بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ
مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ
أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ
يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٨٩
Terjemahnya:
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).[26]
Sealin dari ayat-ayat di atas kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur juga terdapat dalam surah al-Baqarah/2
: 215, An-Nisa/, Al-Anfal/8 : 41, Al-Maidah/5 : 95, At-Taubah/9 : 60,
Al-Kahfi/18 : 79, An-Nur/24 : 22, dan Al-Hasyr/59: 7
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kebanyakan
menjelaskan tentang hak-hak orang miskin yang wajib kita berikan bagi yang
mampu, dan itu merupakan salah satu cara untuk memberantas kemiskinan. Keadaan
masyarakat tidak akan teratur, jika mereka tidak memperhatikan dan kedaan
mereka tidak diperbaiki, akan menjadi beban masyarakat.
C. Tafsir
Ayat-ayat tentang Kemiskinan
Ketika dicermati redaksi
ayat-ayat al-Qur’an tentang kemiskinan, maka ada 3 tema yang akan menjadi fokus
pembahasan yaitu memberi makan kaum miskin, pengentasan kemiskinan dan anjuran
untuk berusaha atau bekerja.
1. Memberi
makan kaum miskin
Ahmad Musthafa al-Maraghi membagi orang
miskin dalam dua golongan; pertama, orang miskin yang ma’zur
(dikarenakan uzur), mereka wajib diberi belas kasihan yaitu orang yang
kemiskinannya disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuannya mencari nafkah,
atau disebabkan terjadi bencana alam yang memusnahkan hartanya. Orang seperti
ini wajib dibantu dengan harta yang menutupi kebutuhan dan menolongnya untuk
mendapat mata pencaharian, kedua: orang miskin yang gairu
ma’zur (tidak akan dikenakan uzur) jika mengabaikannya, yaitu orang yang
kemiskinannya disebabkan oleh perbuatannya yang suka memboroskan dan menyia-nyiakan
harta. Orang seperti ini cukup dengan diberi nasihat dan petunjuk untuk
mendapatkan mata pencaharian.[27]
Memberi makan kaum miskin adalah salah satu
betuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum dikalangan
muslim yang berbudi luhur dan saleh. Ganjaran untuk amal tersebut banyak sekali
dan baik dalam al-Qur’an maupun Nabi kaum muslimin mendorong kaum mukminin
untuk memberi makan kaum miskin dan mereka yang memerlukan. Ayat yang relevan
yaitu QS. Al-Hajj/22: 28;
لِّيَشۡهَدُواْ
مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ
مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ
ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَ ٢٨
Terjemaahnya:
Supaya
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.[28]
Di ayat lain dijelaskan, bahwa
memberi makan kaum miskin adalah mengharapkan keridhaan Allah swt. Sebagaimana
dalam QS. al-Insan:76:7-11;
يُوفُونَ
بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا ٧ وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ
مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا
شُكُورًا ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا
يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا ١٠
فَوَقَىٰهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمِ وَلَقَّىٰهُمۡ نَضۡرَةٗ
وَسُرُورٗا ١١
Terjemahnya:
Mereka
menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim
dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan
Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada
mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati..[29]
Anjuran memberi makan
kaum miskin di samping ditegaskan dalam dalam Alquran, juga ditegaskan dalam
hadis Nabi saw, yang artinya sebagai berikut:
Abdullah bin Amr melaporkan bahwa
Rasulullah saw bersabda: “ Bertakwalah kepada yang Maha Pengasih, berilah
makanan dan sebarkanlah keselamatan, maka kalian akan memasuki syurga dengan
selamat (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Di hadis yang lain
diceritakan dari Abu Hurairah melaporkan bahwa seseorang mengeluh kepada Nabi
saw tentang kesusahan hatinya. Beliau bersabda: “Usapkan tanganmu ke
kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin” (Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas
menunjukkan bahwa memberi makan orang yang lapar atau miskin adalah sedekah
yang terbaik dan suatu tindakan kebajikan yang merupakan salah satu
sendi ekonomi Islam.
2. Pengentasan kesmiskinan
Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya sendiri
yang melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan.
Karena itu, langka pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah meluruskan persepsi
yang keliru itu. Dalam konteks penjelasan al-Qur’an tentang kemiskinan
ditemukan banyak ayat-ayat yang memuji kecukupan, bahkan al-Qur’an menganjurkan
untuk memperoleh kelebihan. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS.
al-Jumu’ah/62: 10
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ
ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Terjemahnya:
Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.[30]
Bahkan,
untuk memperoleh kelebihan, Walau musim ibadah haji sekalian Allah swt.
membenarkannya, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah/2: 198.
لَيۡسَ
عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ ... ١٩٨
Terjemahnya:
Meskipun
demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya sebagai tolok ukur kekayaan, karena
kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasaannya. Islam
mengajarkan apa yang dinamai qana’ah, namun bukan berarti menerima apa adanya,
karena seseorang tidak dapat menyandang sifat qana’ah kecuali setelah melalui
lima tahap:
a. Menginginkan
kepemilikan sesuatu.
b. Berusaha
sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya
itu.
c. Mengabaikan
yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara sukarela dan senang hati.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab dalam bukunya
Wawasan al-Qur’an menyatakan bahwa dalam rangka mengentaskan kemiskinan,
al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar
dibagi menjadi tiga hal pokok:
1). Kewajiban setiap individu
Kewajiban terhadap individu tercermin dalam
kewajiban bekerja dan berusaha. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan
utama yang ditekankan oleh al-Qur’an, karena hal inilah yang sejalan dengan
naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya. Firman
Allah swt. Dalam QS. Ali Imran/3: 14:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ
ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ
وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ
عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ
١٤
Terjemahnya:
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[33]
Ayat
ini secara tegas menggaris bawahi dua naluri manusia, yaitu naluri seksual yang
dilukiskan sebagai kesenangan kepada syahwat wanita, dan naluri kepemilikan
yang dipahami dari ungkapan kesenangan kepada harta yang banyak.[34]
Ibnu Khaldun dalam muqaddimah-nya menjelaskan
bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan
berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya disebut rezeki,
dan bila melebihinya disebut karb (hasil usaha).[35]
Dengan demikian, kerja dan usaha merupakan
dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha
lain untuk keperluan itu lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia.
Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakekat
kemanusiaannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang
diajarka al-Qur’an untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang
diwajibkannya atas setiap individu yang mampu.
2). Kewajiban Orang Lain/ Masyarakat
Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan
satu rumpun keluarga, dan kewajiban masyarakat secara umum tercermin dalam
bentuk zakat dan sedekah wajib. Penanggulangan problem kemiskinan kepada
sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi tidak dapat diandalkan. Teori ini
telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan,[36]seringkali orang tidak merasa bahwa mereka mempunyai
tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan.
Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab
keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
:
وَفِيٓ
أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
Terjemahnya :
“Dalam
harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang meminta) dan yang tidak
berkecukupan (walaupun tidak meminta)”. (QS. al Dzariyaat/51: 19)[37]
Dalam ayat tersebut secara jelas adanya hak
dan kewajiban yang mempunyai kekuatan tersendiri. Karena keduanya dapat
melahirkan “paksaan” kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan
hanya paksaan dari lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat
tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada
pemilik haknya.
Dalam konteks inilah al-Qur’an menetapkan
kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap
individu untuk membantu anggota masyarakatnya.
a). Jaminan satu rumpun keluarga
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa :
وَءَاتِ
ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ
تَبۡذِيرًا ٢٦
Terjemahnya :
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros”. (QS. Al Isra’/17: 26).[38]
Kedua ayat tersebut menggarisbawahi adanya
hak bagi keluarga yang tidak mampu terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu
Hanifah dijelaskan bahwa memberi nafkah kepada anak dan cucu, atau ayah dan
datuk merupakan kewajiban walaupun mereka bukan muslim. Para ahli hukum
menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah mencakup sandang, pangan, papan
dan perabotan, pelayan (bagi yang memerlukan), mengawinkan anak bila tiba
saatnya, serta belanja untuk istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.[39]
Zakat sebagai salah satu upaya pengentasan
kemiskinan tidak semata-mata bertumpu kepada zakat fitrah saja, tetapi
dimaksudkan adalah segala bentuk kewajiban-kewajiban keuangan lainnya yang
ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan
juga berdasarka tugas manusia sebagai khalifah di atas bumi ini.
Apa yang berada dalam genggaman tangan
seseorang atau sekelompok orang pada hakekatnya adalah milik Allah swt. manusia
diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dan kekayaannya untuk kepentingan
saudara-saudara mereka. Hal ini dipahami dari surah Muhammad (47) : 36-37 yang
berbunyi:
إِنَّمَا
ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۚ وَإِن تُؤۡمِنُواْ وَتَتَّقُواْ
يُؤۡتِكُمۡ أُجُورَكُمۡ وَلَا يَسَۡٔلۡكُمۡ أَمۡوَٰلَكُمۡ ٣٦ إِن يَسَۡٔلۡكُمُوهَا
فَيُحۡفِكُمۡ تَبۡخَلُواْ وَيُخۡرِجۡ أَضۡغَٰنَكُمۡ ٣٧
Terjemahnya:
“Sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta
bertaqwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta
harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya
memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan
kedengkianmu”.(QS. Muhammad/47: 36-37).[40]
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt
sebagai pemilik segala sesuatu mewajibkan kepada yang berkelebihan agar
menyisihkan sebagian hartanya untuk orang yang memerlukan. Karena keberhasilan
yang diperoleh itu atas keterlibatan semua pihak, termasuk fakir miskin.
Zakat harta yang diberikan kepada fakir
miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya selama setahun atau bahkan seumur
hidup. Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai dengan
keahlian dan keterampilan masing-masing yang ditopang oleh peningkatan
kualitasnya. Itulah sebabnya, Islam melarang pengkonsentrasian modal di tangan
orang-orang kaya saja, karena hal itu menyebabkan orang fakir miskin tidak
memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki demi
meraih prestasi di bidang ekonomi. Memiliki potensi saja tanpa didukung oleh
modal seseorang tidak akan dapat mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara
optimal.
Agar perputaran harta tetap pada
prinsip fi sabilillah, maka aktifitas tersebut harus diletakkan
pada prinsip keuntungan atau kerugian bersama secara seimbang antara pemilik
harta benda dengan masyarakat penggunanya. Ini berarti segala bentuk
eksploitasi yang merugikan di salah satu pihak dan menguntungkan di pihak lain
harus benar-benar dihindari. Salah satu bentuk eksploitasi tersebut adalah
riba.
Gagalnya fungsionalisasi dan pengorganisasian
sumber-sumber material termasuk zakat akan berpengaruh terhadap lestarinya
kemiskinan. Berdasar pada ayat 103 surah al Taubah, sekali lagi al-Qur’an
menuntut keadilan di bidang ekonomi dengan memerintahkan agar dipungut zakat
dengan maksud untuk mewujudkan kebersihan dan ketentraman masyarakat, khususnya
untuk kepentingan orang yang berharta itu sendiri dan umumnya masyarakat luas.
Tentu saja harta dari zakat hanyalah salah satu dari sumber komoditas ekonomi
dan masih banyak lagi sumber-sumber lain yang perlu digali untuk dimanfaatkan.
3). Kewajiban Pemerintah
Pemerintah berkewajiban mencukupi kebutuhan
setiap warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting
diantaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah atau
perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila
sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi.[41]Otoritas
pemerintah/ penguasa yang diberikan al-Qur’an untuk mengumpulkan segala jenis
pajak tersebut terkait dengan sifat amanah mereka. Jika mereka korup, akan
hilang kepercayaan masyarakat kepada mereka. Selanjutnya yang terjadi adalah
masyarakat melaksanakan sendiri kewajiban-kewajiban keharta bendaan mereka yang
berakibat kurang optimalnya realisasi fungsi pajak/ zakat itu sendiri bagi
upaya pengentasan kemiskinan.
3. Anjuran
untuk berusaha dan bekerja
Para ahli ilmu sosial sependapat sebagaimana dinyatakan
Parsudi Suparlan, bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem
ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu
sendiri bukanlah suatu gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem
ekonomi. Dalam kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi
yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya.[42]
Berdasarkan pendirian tersebut, dapat dikemukakan bahwa
sebab-sebab terjadinya kemiskinan terkait dengan model interaksi antara manusia
dengan dirinya sendiri dengan sesamanya, dengan alam dan dengan kondisi
masyarakat. Hal ini tambah jelas apabila kita perhatikan akar kata “miskin” itu
sendiri yang berarti diam atau tidak bergerak, diperoleh kesan bahwa faktor
utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan atau tidak dapat
bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri
sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh
penganiayaan manusia lain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang
lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi
bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan ditujukan kepada
makhluk yang dinamainya dabbah yang artinya adalah yang
bergerak, seperti yang terdapat dalam QS. Hūd (11): 6 :
۞وَمَا
مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ
مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٦
Terjemahnya:
Dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).[43]
Ayat tersebut menjamin siapa yang aktif
bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Hal ini dipertegas dalam QS.
Ibrāhim (14): 34, yakni وَءَاتَاكُمْ
مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ (Dan Dia telah memberikan kepadamu dari segala
apa yang kamu usahakan kepadaNya). Sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk
umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Al-Qur’an menyatakan bahwa
alam semesta ini ditundukkan kepada manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam
QS. al-Jāśiyah (45): 13, yakni;
وَسَخَّرَ
لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ
١٣
Terjemahnya :
Dan
Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.[44]
Berpijak dari ayat ini, dapat
dinyatakan bahwa alam semesta merupakan suatu sumber daya yang siap
didayagunakan untuk kepentingan manusia. Namun di sisi lain, sikap manusia yang
digambarkan Tuhan dalam QS. al-Rum (30): 41, yakni ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia)
menjadikan sebagian manusia tidak dapat memperoleh dan memanfaatkan sumber daya
alam tersebut.
Kemiskinan terjadi akibat ketidakseimbangan dalam
perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu yang diistilahkan dalam QS.
Ibrāhim (14): 34 tersebut dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia
menggali sumber daya alam itu untuk mengangkatnya kepermukaan, atau untuk
menemukan alternatif pengganti.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis
dapat simpulkan bahwa:
1. Kemiskinan
adalah suatu kondisi yang muncul akibat dari berbagai faktor, baik yang bersumber
dari orang yang bersangkutan maupun yang bersumber dari luar seperti kondisi
alam, sosial dan struktural. Kemiskinan terkait dengan lingkungan sosial
tertentu dan kurun waktu tertentu, di mana kepentingan manusia dan kebutuhannya
berbeda-beda. Para fuqaha sangat tergantung pada tiga faktor, yaitu : pertama ;
harta benda yang dimiliki dan berada di tempat, kedua ; mata
pencaharian yang sah menurut hukum dan ketiga ; kecukupan akan
kebutuhan hidup yang pokok.
2. Di
dalam al-Qur’an terdapat 23 ayat yang berarti miskin, 8 (delapan)
dari kata ûüÅ3ó¡ÏB, 3 (tiga) dari kata $YZŠÅ3ó¡ÏB, dan 12
dari kata ûüÅ6»|¡uKø9$#ur. kebanyakan menjelaskan tentang
hak-hak orang miskin yang wajib kita berikan bagi yang mampu, dan itu merupakan
salah satu cara untuk memberantas kemiskinan. Keadaan masyarakat tidak akan
teratur, jika mereka tidak memperhatikan dan kedaan mereka tidak diperbaiki,
akan menjadi beban masyarakat.
3. Fokus pembahasan tentang kemiskinan dengan pendekatan
maudui’ yaitu a) memberi makan kaum miskin adalah
salah satu betuk sedekah sukarela yang merupakan perbuatan yang amat umum
dikalangan muslim yang berbudi luhur dan saleh, b) pengentasan kemiskinan, secara garis besar dapat dibagi
pada tiga hal pokok, yaitu : (1) kewajiban setiap individu yang tercermin dalam
kewajiban bekerja dan berusaha. (2) kewajiban orang lain/ masyarakat tercermin
dalam jaminan dalam satu rumpun keluarga dan jaminan sosial dalam bentuk zakat
dan sedekah wajib. (3) kewajiban pemerintah melalui sumber-sumber dana yang
sah, seperti pajak, baik dalam bentuk perorangan maupun pajak-pajak
lainnya, dan c) anjuran untuk berusaha
atau bekerja bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan ditujukan
kepada makhluk yang dinamainya dabbah yang artinya adalah yang
bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir
al-Maraghi juz 5. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1374.. Diterjemahkan
oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly . Cet. 2; Semarang: Toha Putra, 1993.
Al-Tabariy, Muhammad Ibnu
Jarīr. Jāmi’ al-Bayān li Tafsīr al-Qur’ān, jilid VI. Bairūt;
Dār al-Fikr, 1392 H/1972 M.
Arraiyyah, M. Hamdar. Meneropong Fenomena
Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur’an.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
CD. Rom
Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Musnad
Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 8777, pada Bāqy
Musnad al-Mukaśśīn.
`Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. 25; Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Qardawi, Yūsuf. Fiqh
al-Zakah ; Dirasah Muqāranah li Ahkāmihā wa Falsafātihā fī Daw’
al-Qur’ān wa al-Sunnah, juz II. Bairūt; Muassasah al-Risālah, 1414
H/1994 M.
Shaleh, Qamaruddin dkk., Asbabun Nuzul: Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an. Cet. XX; Bandung: CV.
Diponegoro, 1999.
Shihab, M. Quraish,Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. II; Bandung; Penerbit Mizan, 2014.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial ; Dari Soal Lingkungan Hidup,
Asuransi hingga Ukhuwah. Bandung:
Mizan, 1995.
[1]M. Hamdar Arraiyyah, Meneropong
Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 1.
[2]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h. 587.
[4]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. 25; Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), h. 464.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, h. 1066.
[6]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. II; Bandung; Penerbit Mizan, 2014),
h. 592.
[7]Muhammad Ibnu Jarīr al-Tabariy, Jāmi’
al-Bayān li Tafsīr al-Qur’ān, jilid VI (Bairūt; Dār al-Fikr, 1392
H/1972 M), h. 109-111.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h.
19.
[9]CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis
nomor 8777, pada Bāqy Musnad al-Mukaśśīn.
[10]Yūsuf Qardawi, Fiqh al-Zakah ; Dirasah
Muqāranah li Ahkāmihā wa Falsafātihā fī Daw’ al-Qur’ān wa
al-Sunnah, juz II (Bairūt; Muassasah al-Risālah, 1414
H/1994 M), h. 545.
[12]Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial ; Dari Soal
Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 1995), h.
170-171.
[14]Qamaruddin Shaleh
dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
al-Qur’an (Cet. XX; Bandung: CV. Diponegoro, 1999), h. 55.
[16]Qamaruddin Shaleh
dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
al-Qur’an, h. 296.
[19]Qamaruddin Shaleh
dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
al-Qur’an, h. 500.
[21]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1062. Ayat ini
menceritakan bahwa hidup manusia penuh dengan perjuangan.
[25]M. Quraish Shihab, Tafsir
al- Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Voume 2
(Cet. V; Jakarta: Lentera Hari, 2012), h. 425.
[27]Ahmad Mushthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi juz 5 (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1374). Diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer
Aly (Cet. 2; Semarang: Toha Putra, 1993), h. 55.
[35]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 418.
0 komentar:
Posting Komentar