Sabtu, 19 Oktober 2019

Instrumen-Instrumen dalam Ekonomi Islam


Instrumen-Instrumen dalam Ekonomi Islam
Oleh: Jasri Firdaus, SE.Sy., ME.
A.    Zakat sebagai Financial Islam
Pilar utama dan pertama dari perekonomian Islam yang disebutkan dalam Al-Quran adalah mekanisme fiskal zakat yang menjadi syarat dalam perekonomian ini. Zakat merupakan harta yang diambil dari amanah harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer kepada kelompok fakir dan miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an yang lazim disebut sebagai kelompok mustahik.[1] Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kutipan wajib bagi seluruh umat Islam. Walaupun demikian masih ada komponen lainnya yang dapat dijadikan unsure lain dalam sumber penerimaan negara[2]. Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi diberbagai segi kehidupan, antara lain:[3]
1.      Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2.      Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3.      Menekan jumlah permasalahan sosial, kriminalitas, gelandangan, pengemis, dll;
4.      Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihatra sektor usaha. Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat minimal sehingga perekonomian dapat terus berjalan.
5.      Mendorong, masyarakat unuk berinvestasi, tidak menumpuk hartanya.
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi Islam (obligatory zakat sistem), sehingga pelaksanaanya melalui institusi resmi negara yang memiliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau didistribusikan melalui lembaga pengelola zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia sudah dilakukan semenjak awal Islam masuk dan berkembang di Nusantara, baik individu maupun kelompok atau institusi. Namun demikian, mayoritas ulama di dunia dan Indonesia sepakat bahwa sebaiknya pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintah.[4]
Ketentuan atau instrumen yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi Islam yang berfungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki), yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem ini, yang memberikan manfaat kolektif (jama’i).
Manfaat individu dari zakat adalah bahwa ia akan membersihkan dan mensucikan mereka yang membayar zakat. Sesudah mengeluarkan zakat seseorang telah suci dari penyalit kikir dan tamak. Hartanya juga telah bersih karena tidak ada lagi hak orang lain pada hartanya itu.[5]
Sementara itu, manfaat kolektif dari zakat adalah bahwa zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki kecukupan harta bahwa ada hak orang lain dalam hartanya. Sifat kebaikan ini yang kemudian mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan manfaat kolektif (jama’i).
Selain itu, eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif pada hakikatnya memiliki makna ibadah dan ekonomi. Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertical dan horizontal[6]. Disatu sisi, zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang mampu dari kepemilikan harta dan menjadi salah satu ukuran kepatuhan seseorang pada Allah Swt. Disisi lain zakat merupakan variabel utama dalam menjaga kestabilan sosial ekonomi agar selalu berada pada posisi aman untuk terus berlangsung.
Dari perspektif kolektif dan ekonomi, zakat akan melipatgandakan harta masyarakat. Proses pelipatgandaan ini dimungkinkan karena zakat dapat meningkatkan permintaan dan penawaran di pasar yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan permintaan terjadi karena perekonomian mengakomodasi golongan manusia yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimalnya sehingga pelaku dan volume pasar dari sisi permintaan meningkat. Distribusi zakat pada golongan masyarakat kurang mampu akan menjadi pendapatan yang membuat mereka memiliki daya beli atau memiliki akses pada perekonomian. Sementara itu, peningkatan penawaran terjadi karena zakat memberikan disinsentif bagi penumpukan harta diam (tidak diusahakan atau idle) dengan mengenakan ‘potongan’ sehingga mendorong harta untuk diusahakan dan dialirkan untuk investasi di sektor riil. Pada akhirnya, zakat berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dengan adanya mekanisme zakat, aktifitas ekonomi dalam kondisi terburuk sekalipun dipastikan akan dapat berjalan paling tidak pada tingkat yang minimal untuk memenuhi kebutuhan primer. Oleh karena itu, instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, karena kebutuhan konsumsi minimum dijamin oleh dana zakat.
Secara ringkas penerapan sistem zakat akan berdampak positif di sektor riil dalam beberapa hal, antara lain:[7]
1.      Zakat menjadi mekanisme baku yang menjamin terdistribusinya pendapatan dan kekayaan sehingga tidak terjadi kecenderungan penumpukan faktor produksi pada sekelompok orang yang berpotensi menghambat perputaran ekonomi.
2.      Zakat merupakan mekanisme perputaran ekonomi (velocity) itu sendiri yang memelihara tingkat permintaan dalam ekonomi. Dengan kata lain pasar selalu tersedia bagi produsen untuk memberikan penawaran. Dengan begitu, sektor riil selalu terjaga pada tingkat yang minimum tempat perekonomian dapat berlangsung karena interaksi permintaan dan penawaran selalu ada.
3.      Zakat mengakomodasi warga negara yang tidak memiliki akses ke pasar karena tidak memiliki daya beli atau modal untuk kemudian menjadi pelaku aktif dalam ekonomi sehingga volume aktivitas ekonomi relatif lebih besar (jika dibandingkan dengan aktifitas ekonomi konvensional).
Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
Instrumen zakat juga memiliki justifikasi yang kuat untuk diintegrasikan dalam sistem fiskal nasional. Hal ini didasari kenyataan bahwa secara sosiologis dan demografis Indonesia adalah negara muslim terbesar. Dan pada saat yang sama secara filosofis, zakat memiliki legitimasi yang kuat ketika diintegrasikan dalam sistem fiskal. Hal ini didukung bahwa topik dalam pembiayaan dalam publik Islam yang paling banyak didiskusikan adalah masalah zakat. Selain itu zakat juga merupakan kewajiban relijius bagi seorang muslim. Dengan demikian zakat memiliki nilai transendensi yang tinggi. Zakat mempunyai kedudukan yang istimewa dan strategis.[8]
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi. Tetapi secara rinci para ahli ekonomi berpendapat bahwa fungsi kebijakan fiskal mencakup tiga hal.[9] Pertama, fungsi alokasi yang bertujuan untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang ada dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat seperti keamanan, pendidikan, prasarana jalan, tempat ibadah dan sebagainya dapat terpenuhi. Kedua, fungsi distribusi yang bertujuan untuk terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil. Ketiga, fungsi stabilisasi yang antara lain bertujuan untuk terpeliharanya kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.
Merujuk dari fungsi kebijakan fiskal tersebut, tidak diragukan lagi bahwa zakat dapat pula dijadikan instrumen dalam kebijakan fiskal karena memenuhi dengan baik seluruh prasyarat untuk menjadi instrumen fiskal. Ketiga fungsi fiskal yang dimainkan oleh zakat tersebut dapat dijabarkan secara jelas. Pertama, sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Karena sesungguhnya konsep zakat ini mirip dengan konsep transfer payment dalam ekonomi konvensional, meskipun banyak perbedaan yang mendasar, baik dari segi filosofis, landasan hukum hingga pada masalah penyaluran dan pendayagunaan. Sebagai sebuah instrumen, tentu saja zakat membutuhkan infra struktur yang memadai, baik dalam regulasi kebijakan hingga bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat rinci. Jika fungsi zakat sebagai instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.[10]
Kedua, sebagai stabilisator perekonomian.[11] Pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan dampak terhadap stabilitas perekonomian. Kondisi perekonomian terkadang berada pada situasi booming[12] maupun pada situasi depresi[13]. Kondisi yang fluktuatif ini tentu membutuhkan adanya suatu instrumen yang menjadi stabilisator, sehingga deviliasi yang ditimbulkannya dapat diminimalisir.[14]
Ketiga, sebagai instrumen pembangunan dan pemberberdayaan masyarakat dhuafa (fungsi alokasi). Zakat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan ekonomi yang terkait dengan sektor riil mendapatkan prioritas yang utama. Hal ini dimaksudkan agar angka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi, lapangan serta kesempatan kerja dapat diperluas.[15]
Pelaksanaan ibadah zakat bila dilakukan secara sistematis dan terorganisir akan memberikan efek multiplier yang yang tidak sedikit terhadap peningkatan pendapatan.[16] Efek multiplier dari zakat secara ekonomi dijelaskan sebagai berikut: diasumsikan bantuan zakat diberikan dalam bentuk konsumtif. Bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik akan meningkatkan daya beli mustahik tersebut atas suatu barang yang menjadi kebutuhannya. Peningkatan daya beli atas suatu barang ini akan berimbas pada peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah peningkatan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi akan meningkatkan pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara bertambah, maka negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari gambaran diatas terlihat bahwa pembayaran zakat mampu menghasilkan efek berlipat ganda (multiplier effect). Dalam perekonomian, yang pada akhirnya secara tidak langsung akan berimbas pula apabila zakat diberikan dalam bentuk bantuan produktif seperti modal kerja atau dana bergulir, maka sudah barang tentu efek multiplier yang didapat akan lebih besar lagi dalam suatu perekonomian.[17]
Sehingga Kusniawati dalam penelitiannya menyimpulakn bahwa zakat sangat berpeluang untuk dijadikan kebijakan fiskal, sebab memenuhi prasyarat untuk menjadi kebijakan fiskal. Dapat dilihat dari fungsi yang dimainkan oleh zakat yaitu zakat sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan, zakat sebagai stabilisator perekonomian, dan zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dhuafa’ (dalam hal ini sebagai fungsi alokatif).[18]
Peluang peruntukan dana zakat jika diterapkan dengan baik akan mempunyai berbagai implikasi:[19]
1.      Implikasi mikro zakat
Zakat dalam ekonomi Islam secara otomatis akan mentransfer sejumlah proporsi pendapatan, tentunya ini akan mempengaruhi permintaan dalam pasar. Demikian juga dalam ekonomi Islam dimana riba dilarang maka penerapan sistem zakat akan member insentif yang kuat bagi pemilik kekayaan untuk melakukan investasi di sector riil dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaan mereka.
2.      Implikasi makro zakat
Dalam kerangka institusi social ekonomi zakat memiliki dampak stabilisasi terhadap perekonomian melalui jalur tabungan dan investasi. Dalam ekonomi Islam, modal finansial (uang) dilarang disewakan dan tidak boleh menuntut klaim sewa (bunga). Pilihan untuk membiarkan modal finansial menganggur akan sulit dilakukan karena akan terkena penalti zakat sehingga akan berkurang setiap tahunnya. Satu-satunya cara agar bagi uang agar tidak berkurang dan memperoleh hasil adalah dengan cara terlibat dalam kegiatan wirausaha dengan bersedia menanggung resiko usaha untuk memperoleh laba.
B.     Baitul Maal dan Kaitannya dengan Konteks Kekinian
1.      Definisi Baitul Maal
Secara harfiah, baitul maal berarti rumah dana. Baitul mal ini sudah ada sejak pada zaman rasulullah, berkembang pesat pada abad pertengahan. Baitul mal berfungsi sebagai pengumpulan dan men-tasyaruf-kan untuk kepentingan sosial. Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban atau tugas khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang dimiliki oleh umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara.[20] Sedangkan menurut Ensiklopedia Hukum Islam, baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat. Pendapat yang lain dari Harun Nasution mendefinisikan bahwa baitul mal bisa diartikan sebagai pembendaharan (umum atau negara).[21]
2.      Baitul Maal dalam Histories
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah Saw hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas baitul mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan.[22] Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka baitul mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.[23]
Keberadaan Baitul Maal secara histories ada sejak Nabi Muhammad SAW. Munculnya ide Baitul Māl adalah ketika muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada perang badar. Pada masa Rasulullah SAW ini Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak yang menangani setiap harta benda kaum muslimin baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Karena saat itu Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk untuk menyimpan harta dan benda yang di peroleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang di peroleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.[24]
Pada masa Abu Bakar, dibuatlah kebijakan-kebijakan untuk pengembangan Baitul Māl dan pengangkatan penanggung jawab Baitul Māl. Dan Abu Ubaid ditunjuk sebagai penanggung jawab Baitul Maal.[25] Selama masa kepemimpinan beliau, setiap harta yang masuk ke baitul maal langsung didistribusikan keseluruh kaum muslimin. Dengan demikian selama masa pemerintahan Abu Bakar Ash-shidiq, harta Baitul Maal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama.[26]
Pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab didirikan beberapa departemen yang dianggap perlu dalam pendistribusian harta baitul maal seperti:[27]
a.       Departemen pelayanan militer, departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
b.      Departemen kehakiman dan eksekutif, departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabateksekutif. Besarnya gaji ini di tentukan dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktek suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan hal itu tetap dalam batas-bats kewajaran.
c.       Departemen pendidikan dan pengembangan Islam, departemen ini mendistribusikan bantuan dan bagi para penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d.      Departemen jaminan sosial, departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang yang menderita.
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman Ibn Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Māl. Sedangkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Māl ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.[28] Khalifa Ali menerapkan sistem pendistribusian harta baitul maal sekali dalam sepekan yakni pada hari kamis yang dinobatkan sebagai hari pendistribusianya atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu, penghitungan baru dimulai. Selama masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sistem administrsai Baitul Māl, baik di tingkat pusat maupusn daerah telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan lancar maka pendapatan Baitul Māl mengalami surplus.[29]

3.      Hirarkhi Organisasi dan Opperasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam operasionalnya institusi baitul maal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh baitul maal sebagai bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola Khumz, jizyah, Kharaj[30] dan seterusnya.
Yusuf Qardhawy membagi baitul maal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaanya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik:[31]
a.       Departemen khusus untuk sedekah (zakat)
b.      Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti
c.       Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz
d.      Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui pewarisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan)
Ibn Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam administrasi keuangan negara, dalam Baitul Maal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:[32]
a.       Diwan al-Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri tentara.
b.      Diwan al Jawali wal Mawarist al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll takes (jizyah) dan harta tanpa waris.
c.       Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
d.      Diwan al Hilali yang berfungsi mengurusi pajak buah-buahan.

Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengoleksian dan pendapatan negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian negara pada waktu tertentu.
Pada masa Ali bin Abi Thalib, baitul maal juga berfungsi mencetak uang yang beredar (dinar dan dirham), berarti baitul maal bisa berfungsi sebagai otoritas moneter yang menentukan jumlah uang beredar atau bahkan dengan kompleksitas sektor moneter masa modern ini, pengaturan sektor moneter oleh baitul maal tidak hanya terbatas pada jumlah uang beredar tapi juga melakukan pengawasan dan pengaturan pada arus uang di aktivitas investasi dan jual beli yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan syariah dalam perekonomian. Dengan begitu divisi khusus yang mengurusi sektor moneter diperlukan juga dalam struktur organisasi baitul maal.[33]
Dewasa ini, fungsi-fungsi baitul maal telah diimplikasikan dalam lembaga-lembaga keuangan syariah, misalnya perbankan syariah, maupun lembaga keuangan non bank syariah seperti BMT (Baitul Maal Wattamwil). Sebagaimana pada masa Ali bin Abi Thalib, baitul maal memiliki kewenangan untuk mencetak uang. Di Indonesia, kewenangan tersebut menjadi otoritas Bank Indonesia sebagai bank sentral. Dimana fungsi bank sentral tersebut selain mencetak uang juga juga hak otoritas untuk mengatur jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Sejenisnya
Adji, Disasmita Sakti. Transportasi dan Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam. Alih bahasa Soeroyo. Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005.
al-Arif, Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam. Bandung: Alfabeta, 2010.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Dahlan, Abdul Aziz et al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Hasan, M. Ali. Zakat dan Infaq. Jakarta: Kencana, 2008.
Indonesia Zakat & Development Report. Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat. Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), 2009.
Karim, Adiwarman A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Kurnia, Hikmat dan A Hidayat. Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultum Media, 2008.
Muhammad. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2007.
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis. (terjemahan) Cet. Ke-XII; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011.
Sabzwari, M. A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995.
Sudiyono R. Ekonomi Makro: Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Yogyakarta: Liberti, 1992. Sebagaimana dikutip Nurdin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Zallum, Abdul Qadim. Sistem Keuangan di Negara Khalifah (al-Amwaal fii Daulah alKhilafah) alih bahasa oleh Ahmad S. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Jurnal dan Sejenisnya
Beik, Irfan Syauqi dan didin Hafidudin. “Zakat dan Pembangunan Ekonomi Umat”. Makalah Seminar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Medan-Sumatera Utara, 18-19 September 2005.
Kusniawati. “Zakat Sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”. Skripsi (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, 2011).
Marimin, Agus. “Baitul Maal Sebagai Lembaga Keuangan Islam dalam Memperlancar Aktivitas Perekonomian”. Jurnal Akuntansi dan Pajak, Vol. 14 No. 02 (Januari 2014).
Mustaring. “Eksistensi Baitul Maal dan Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean”. Jurnal Supremasi Vol. XI No. 2 (Oktober 2016).




[1]Muhammad, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 55.
[2]Mustafa Edwin (dkk), pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007), h. 208.
[4]Indonesia Zakat & Development Report, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat, (Ciputat: Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), 2009). h. 2.
[5]M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 15.
[6]Hikmat Kurnia, dan A Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h.8
[7]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007). h.9.
[8]Indonesia Zakat & Development Report, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat, h.80.
[9]Sudiyono R, Ekonomi Makro: Pengantar Analisis Pendapatan Nasional, (Yogyakarta: Liberti, 1992), h. 89. Sebagaimana dikutip Nurdin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 95.
[10]Lihat Irfan Syauqi Beik dan didin Hafidudin, “Zakat Dan Pembangunan Ekonomi Umat ”, Makalah Seminar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Medan-Sumatera Utara, 18-19 September 2005.
[12]Booming yaitu periode bertambahnya aktifitas ekonomi.
[13]Depresi yaitu keadaan ekonomi yang lesu yang ditandai dengan kelesuan dunia usaha hingga mengarah kepada penurunan harga yang berlangsung terus-menerus, terjadinya penyusutan produksi, banyaknya pengangguran serta melemahnya daya beli masyarakat.
[14]Indonesia Zakat & Development Report, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat, h. 94.
[15]Indonesia Zakat & Development Report, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat, h. 94.
[16]Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 254.
[17]Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, h. 254.
[18]Kusniawati, “Zakat Sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”, Skripsi (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, 2011), h.97.
[19]Kusniawati, “Zakat Sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”, h.97-98.
[20]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khalifah (al-Amwaal fii Daulah alKhilafah), alih bahasa oleh Ahmad S, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), h.94.
[21]Marimin, Agus. “Baitul Maal Sebagai Lembaga Keuangan Islam dalam Memperlancar Aktivitas Perekonomian”.  Jurnal Akuntansi dan Pajak. Vol. 14 No. 02 (Januari 2014).

[23]Disasmita Sakti Adji, Transportasi dan Pengembangan Wilayah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h.67.
[24]Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h.
[25]M.A Sabzwari, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995), 44.
[26]Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 160.
[27]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), h.92.
[28]Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.187.
[29]Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Terj. Soeroyo (Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995), h.320.
[30]Mustaring, “Eksistensi Baitul Maal dan Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean”, Jurnal Supremasi Vol. XI No. 2 (Oktober 2016), h.123.
[31]Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis, (terjemahan) Cet. Ke-XII; (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011). h.545-561.
[32]Mustaring, “Eksistensi Baitul Maal dan Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean”, h.124.
[33]Mustaring, “Eksistensi Baitul Maal dan Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean”, h.124.



0 komentar:

Posting Komentar