Instrumen-Instrumen dalam Ekonomi
Islam
Oleh: Jasri Firdaus, SE.Sy., ME.
A.
Zakat sebagai Financial Islam
Pilar utama dan pertama dari perekonomian Islam
yang disebutkan dalam Al-Quran adalah mekanisme fiskal zakat yang menjadi
syarat dalam perekonomian ini. Zakat merupakan harta yang diambil dari amanah
harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer kepada kelompok fakir dan
miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an yang lazim
disebut sebagai kelompok mustahik.[1]
Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan
fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kutipan wajib
bagi seluruh umat Islam. Walaupun demikian masih ada komponen lainnya yang
dapat dijadikan unsure lain dalam sumber penerimaan negara[2].
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi diberbagai segi
kehidupan, antara lain:[3]
1.
Memenuhi
kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2.
Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3.
Menekan jumlah permasalahan sosial, kriminalitas, gelandangan,
pengemis, dll;
4.
Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihatra sektor
usaha. Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat minimal
sehingga perekonomian dapat terus berjalan.
5.
Mendorong, masyarakat unuk berinvestasi, tidak menumpuk hartanya.
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam
sistem ekonomi Islam (obligatory zakat
sistem), sehingga pelaksanaanya melalui institusi resmi negara yang
memiliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau didistribusikan
melalui lembaga pengelola zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia sudah dilakukan
semenjak awal Islam masuk dan berkembang di Nusantara, baik individu maupun
kelompok atau institusi. Namun demikian, mayoritas ulama di dunia dan Indonesia
sepakat bahwa sebaiknya pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintah.[4]
Ketentuan atau instrumen yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua
fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i).
Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi Islam yang berfungsi
sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki), yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan
berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan
sistem ini, yang memberikan manfaat kolektif (jama’i).
Manfaat individu dari zakat adalah bahwa ia
akan membersihkan dan mensucikan mereka yang membayar zakat. Sesudah
mengeluarkan zakat seseorang telah suci dari penyalit kikir dan tamak. Hartanya
juga telah bersih karena tidak ada lagi hak orang lain pada hartanya itu.[5]
Sementara itu, manfaat kolektif dari zakat
adalah bahwa zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki kecukupan harta
bahwa ada hak orang lain dalam hartanya. Sifat kebaikan ini yang kemudian
mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan manfaat
kolektif (jama’i).
Selain itu, eksistensi zakat dalam kehidupan
manusia baik pribadi maupun kolektif pada hakikatnya memiliki makna ibadah dan
ekonomi. Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertical dan
horizontal[6].
Disatu sisi, zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang mampu dari
kepemilikan harta dan menjadi salah satu ukuran kepatuhan seseorang pada Allah
Swt. Disisi lain zakat merupakan variabel utama dalam menjaga kestabilan sosial
ekonomi agar selalu berada pada posisi aman untuk terus berlangsung.
Dari perspektif kolektif dan ekonomi, zakat
akan melipatgandakan harta masyarakat. Proses pelipatgandaan ini dimungkinkan
karena zakat dapat meningkatkan permintaan dan penawaran di pasar yang kemudian
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Peningkatan permintaan terjadi karena perekonomian mengakomodasi
golongan manusia yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimalnya sehingga
pelaku dan volume pasar dari sisi permintaan meningkat. Distribusi zakat pada
golongan masyarakat kurang mampu akan menjadi pendapatan yang membuat mereka
memiliki daya beli atau memiliki akses pada perekonomian. Sementara itu, peningkatan penawaran terjadi karena zakat memberikan disinsentif bagi penumpukan harta diam
(tidak diusahakan atau idle) dengan
mengenakan ‘potongan’ sehingga mendorong harta untuk diusahakan dan dialirkan
untuk investasi di sektor riil. Pada akhirnya, zakat berperan besar dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dengan adanya mekanisme zakat, aktifitas
ekonomi dalam kondisi terburuk sekalipun dipastikan akan dapat berjalan paling
tidak pada tingkat yang minimal untuk memenuhi kebutuhan primer. Oleh karena
itu, instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian
agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami
stagnasi (underconsumption). Zakat
memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, karena
kebutuhan konsumsi minimum dijamin oleh dana zakat.
Secara
ringkas penerapan sistem zakat akan berdampak positif di sektor riil dalam
beberapa hal, antara lain:[7]
1.
Zakat menjadi mekanisme baku yang menjamin terdistribusinya
pendapatan dan kekayaan sehingga tidak terjadi kecenderungan penumpukan faktor
produksi pada sekelompok orang yang berpotensi menghambat perputaran ekonomi.
2.
Zakat
merupakan mekanisme perputaran ekonomi (velocity)
itu sendiri yang memelihara tingkat
permintaan dalam ekonomi. Dengan kata lain pasar selalu tersedia bagi produsen
untuk memberikan penawaran. Dengan begitu, sektor riil selalu terjaga pada
tingkat yang minimum tempat perekonomian dapat berlangsung karena interaksi permintaan
dan penawaran selalu ada.
3.
Zakat
mengakomodasi warga negara yang tidak memiliki akses ke pasar karena tidak memiliki daya beli atau modal untuk kemudian menjadi
pelaku aktif dalam ekonomi sehingga volume aktivitas ekonomi relatif lebih
besar (jika dibandingkan dengan aktifitas ekonomi konvensional).
Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan
sudut pandang sistem ekonomi pasar adalah menciptakan distribusi pendapatan
menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisa kebijakan
fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari
zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan
ekonomi.
Instrumen zakat juga memiliki justifikasi yang
kuat untuk diintegrasikan dalam sistem fiskal nasional. Hal ini didasari
kenyataan bahwa secara sosiologis dan demografis Indonesia adalah negara muslim
terbesar. Dan pada saat yang sama secara filosofis, zakat memiliki legitimasi
yang kuat ketika diintegrasikan dalam sistem fiskal. Hal ini didukung bahwa
topik dalam pembiayaan dalam publik Islam yang paling banyak didiskusikan
adalah masalah zakat. Selain itu zakat juga merupakan kewajiban relijius bagi
seorang muslim. Dengan demikian zakat memiliki nilai transendensi yang tinggi.
Zakat mempunyai kedudukan yang istimewa dan strategis.[8]
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh
kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi. Tetapi secara rinci para ahli
ekonomi berpendapat bahwa fungsi kebijakan fiskal mencakup tiga hal.[9] Pertama, fungsi alokasi yang bertujuan
untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang ada dalam masyarakat
sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat seperti keamanan, pendidikan,
prasarana jalan, tempat ibadah dan sebagainya dapat terpenuhi. Kedua, fungsi distribusi yang bertujuan
untuk terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil. Ketiga, fungsi stabilisasi yang antara
lain bertujuan untuk terpeliharanya kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga
yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.
Merujuk dari fungsi kebijakan fiskal tersebut,
tidak diragukan lagi bahwa zakat dapat pula dijadikan instrumen dalam kebijakan
fiskal karena memenuhi dengan baik seluruh prasyarat untuk menjadi instrumen
fiskal. Ketiga fungsi fiskal yang dimainkan oleh zakat tersebut dapat
dijabarkan secara jelas. Pertama,
sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Karena sesungguhnya konsep
zakat ini mirip dengan konsep transfer
payment dalam ekonomi konvensional, meskipun banyak perbedaan yang
mendasar, baik dari segi filosofis, landasan hukum hingga pada masalah
penyaluran dan pendayagunaan. Sebagai sebuah instrumen, tentu saja zakat
membutuhkan infra struktur yang memadai, baik dalam regulasi kebijakan hingga
bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat rinci. Jika fungsi zakat sebagai
instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka
persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.[10]
Kedua, sebagai stabilisator perekonomian.[11]
Pengelolaan zakat yang baik dapat memberikan
dampak terhadap stabilitas perekonomian. Kondisi perekonomian terkadang berada
pada situasi booming[12]
maupun pada situasi depresi[13].
Kondisi yang fluktuatif ini tentu membutuhkan adanya suatu instrumen yang
menjadi stabilisator, sehingga deviliasi yang ditimbulkannya dapat
diminimalisir.[14]
Ketiga, sebagai instrumen pembangunan dan
pemberberdayaan masyarakat dhuafa
(fungsi alokasi). Zakat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan
masyarakat. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pembangunan
ekonomi yang terkait dengan sektor riil mendapatkan prioritas yang utama. Hal
ini dimaksudkan agar angka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi,
lapangan serta kesempatan kerja dapat diperluas.[15]
Pelaksanaan ibadah zakat bila dilakukan secara
sistematis dan terorganisir akan memberikan efek multiplier yang yang tidak
sedikit terhadap peningkatan pendapatan.[16]
Efek multiplier dari zakat secara ekonomi dijelaskan sebagai berikut: diasumsikan bantuan zakat diberikan dalam bentuk konsumtif.
Bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik akan meningkatkan daya beli
mustahik tersebut atas suatu barang yang menjadi kebutuhannya. Peningkatan daya
beli atas suatu barang ini akan berimbas pada peningkatan produksi suatu
perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah peningkatan kapasitas
produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih
banyak.
Sementara itu, disisi lain peningkatan produksi
akan meningkatkan pajak yang dibayarkan kepada negara. Bila penerimaan negara
bertambah, maka negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk
pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Dari
gambaran diatas terlihat bahwa pembayaran zakat mampu menghasilkan efek
berlipat ganda (multiplier effect).
Dalam perekonomian, yang pada akhirnya secara tidak langsung akan berimbas pula
apabila zakat diberikan dalam bentuk bantuan produktif seperti modal kerja atau
dana bergulir, maka sudah barang tentu efek multiplier yang didapat akan lebih
besar lagi dalam suatu perekonomian.[17]
Sehingga Kusniawati dalam
penelitiannya menyimpulakn bahwa zakat sangat berpeluang untuk dijadikan
kebijakan fiskal, sebab memenuhi prasyarat untuk menjadi kebijakan fiskal.
Dapat dilihat dari fungsi yang dimainkan oleh zakat yaitu zakat sebagai alat
redistribusi pendapatan dan kekayaan, zakat sebagai stabilisator perekonomian,
dan zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dhuafa’
(dalam hal ini sebagai fungsi alokatif).[18]
Peluang peruntukan dana zakat
jika diterapkan dengan baik akan mempunyai berbagai implikasi:[19]
1.
Implikasi mikro zakat
Zakat dalam ekonomi Islam secara otomatis akan mentransfer sejumlah
proporsi pendapatan, tentunya ini akan mempengaruhi permintaan dalam pasar.
Demikian juga dalam ekonomi Islam dimana riba dilarang maka penerapan sistem
zakat akan member insentif yang kuat bagi pemilik kekayaan untuk melakukan
investasi di sector riil dalam rangka mempertahankan tingkat kekayaan mereka.
2.
Implikasi makro zakat
Dalam kerangka institusi social ekonomi zakat memiliki dampak
stabilisasi terhadap perekonomian melalui jalur tabungan dan investasi. Dalam
ekonomi Islam, modal finansial (uang) dilarang disewakan dan
tidak boleh menuntut klaim sewa (bunga). Pilihan untuk membiarkan modal
finansial menganggur akan sulit dilakukan karena akan terkena penalti zakat
sehingga akan berkurang setiap tahunnya. Satu-satunya cara agar bagi uang agar
tidak berkurang dan memperoleh hasil adalah dengan cara terlibat dalam kegiatan
wirausaha dengan bersedia menanggung resiko usaha untuk memperoleh laba.
B.
Baitul Maal dan Kaitannya dengan
Konteks Kekinian
1.
Definisi
Baitul Maal
Secara harfiah, baitul maal
berarti rumah dana. Baitul mal ini sudah ada sejak pada zaman rasulullah,
berkembang pesat pada abad pertengahan. Baitul mal berfungsi sebagai
pengumpulan dan men-tasyaruf-kan
untuk kepentingan sosial. Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban atau
tugas khusus untuk melakukan penanganan atas segala harta yang dimiliki oleh
umat, dalam bentuk pendapatan maupun pengeluaran negara.[20] Sedangkan menurut
Ensiklopedia Hukum Islam, baitul mal
adalah lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan, dan
mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan syariat. Pendapat yang lain
dari Harun Nasution mendefinisikan bahwa baitul
mal bisa diartikan sebagai pembendaharan (umum atau negara).[21]
2. Baitul Maal
dalam Histories
Seperti yang telah diketahui, pada masa Rasulullah Saw hingga
kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian dana zakat serta
pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak. Artinya pendistribusian
dana tersebut langsung dilakukan setelah pengumpulan, sehingga para petugas baitul mal selesai melaksanakan tugasnya
tidak membawa sisa dana untuk disimpan.[22]
Sedangkan pada masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar
sehingga diambil keputusan menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan
tersebut, maka baitul mal secara
resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.[23]
Keberadaan Baitul Maal
secara histories ada sejak Nabi Muhammad SAW. Munculnya ide Baitul Māl adalah
ketika muslimin mendapatkan ghanimah
(harta rampasan perang) pada perang badar. Pada masa Rasulullah SAW ini Baitul Maal lebih mempunyai pengertian
sebagai pihak yang menangani setiap harta benda kaum muslimin baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran. Karena saat itu Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk untuk menyimpan
harta dan benda yang di peroleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang
di peroleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.[24]
Pada masa Abu Bakar, dibuatlah kebijakan-kebijakan untuk
pengembangan Baitul Māl dan pengangkatan penanggung jawab Baitul Māl. Dan Abu
Ubaid ditunjuk sebagai penanggung jawab Baitul
Maal.[25] Selama masa kepemimpinan
beliau, setiap harta yang masuk ke baitul maal langsung didistribusikan keseluruh
kaum muslimin. Dengan demikian selama masa pemerintahan Abu Bakar Ash-shidiq,
harta Baitul Maal tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama.[26]
Pada
masa khalifah Umar ibn al-Khattab didirikan beberapa departemen yang dianggap
perlu dalam pendistribusian harta baitul maal seperti:[27]
a. Departemen pelayanan militer,
departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang
yang terlibat dalam peperangan. besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh
jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
b. Departemen kehakiman dan
eksekutif, departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim
dan pejabateksekutif. Besarnya gaji ini di tentukan dua hal, yaitu jumlah gaji
yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktek
suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan
hal itu tetap dalam batas-bats kewajaran.
c. Departemen pendidikan dan
pengembangan Islam, departemen ini mendistribusikan bantuan dan bagi para
penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru
dakwah.
d. Departemen jaminan sosial,
departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh
fakir miskin dan orang yang menderita.
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman Ibn Affan. Namun,
karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan
protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Māl. Sedangkan pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Māl ditempatkan kembali pada posisi yang
sebelumnya. Ali berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang mendorong
peningkatan kesejahteraan umat Islam.[28]
Khalifa Ali menerapkan sistem pendistribusian harta baitul maal sekali dalam
sepekan yakni pada hari kamis yang dinobatkan sebagai hari pendistribusianya
atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan, pada
hari sabtu, penghitungan baru dimulai. Selama masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib, sistem administrsai Baitul Māl, baik di tingkat pusat maupusn daerah
telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan lancar maka
pendapatan Baitul Māl mengalami surplus.[29]
3. Hirarkhi Organisasi dan
Opperasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam operasionalnya institusi baitul maal dibagi menjadi beberapa
departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang
dimiliki oleh baitul maal sebagai
bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang
mengelola Khumz, jizyah, Kharaj[30] dan seterusnya.
Yusuf
Qardhawy membagi baitul maal menjadi
empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaanya, merujuk pada aplikasi
masa Islam klasik:[31]
a.
Departemen khusus untuk sedekah (zakat)
b.
Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti
c.
Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz
d.
Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui pewarisnya atau
yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan)
Ibn
Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam administrasi keuangan negara, dalam Baitul
Maal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut
diantaranya:[32]
a.
Diwan al-Rawatib yang berfungsi
mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri tentara.
b.
Diwan al Jawali wal Mawarist
al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll
takes (jizyah) dan harta tanpa
waris.
c.
Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk
memungut kharaj.
d.
Diwan al Hilali yang berfungsi mengurusi
pajak buah-buahan.
Pada hakikatnya pengembangan
institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku
kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan
departemen dan kebijakan strategi pengoleksian dan pendapatan negara,
sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian negara pada
waktu tertentu.
Pada
masa Ali bin Abi Thalib, baitul maal juga
berfungsi mencetak uang yang beredar (dinar dan dirham), berarti baitul maal bisa berfungsi sebagai
otoritas moneter yang menentukan jumlah uang beredar atau bahkan dengan
kompleksitas sektor moneter masa modern ini, pengaturan sektor moneter oleh baitul maal tidak hanya terbatas pada
jumlah uang beredar tapi juga melakukan pengawasan dan pengaturan pada arus
uang di aktivitas investasi dan jual beli yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan syariah dalam perekonomian. Dengan begitu divisi khusus yang mengurusi
sektor moneter diperlukan juga dalam struktur organisasi baitul maal.[33]
Dewasa
ini, fungsi-fungsi baitul maal telah
diimplikasikan dalam lembaga-lembaga keuangan syariah, misalnya perbankan
syariah, maupun lembaga keuangan non bank syariah seperti BMT (Baitul Maal Wattamwil). Sebagaimana pada
masa Ali bin Abi Thalib, baitul maal
memiliki kewenangan untuk mencetak uang. Di Indonesia, kewenangan tersebut
menjadi otoritas Bank Indonesia sebagai bank sentral. Dimana fungsi bank
sentral tersebut selain mencetak uang juga juga hak otoritas untuk mengatur
jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku dan Sejenisnya
Adji, Disasmita Sakti. Transportasi dan Pengembangan Wilayah. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2007.
Afzalurrahman.
Doktrin Ekonomi Islam. Alih bahasa
Soeroyo. Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa
Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005.
al-Arif,
Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam.
Bandung: Alfabeta, 2010.
Ascarya. Akad
dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Dahlan,
Abdul Aziz et al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Hasan, M. Ali. Zakat dan Infaq. Jakarta: Kencana, 2008.
Indonesia Zakat & Development Report. Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat. Ciputat:
Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), 2009.
Karim, Adiwarman A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010.
Kurnia, Hikmat dan A Hidayat. Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultum Media, 2008.
Muhammad. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2007.
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai
Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis.
(terjemahan) Cet. Ke-XII; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011.
Sabzwari, M. A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf,
1995.
Sudiyono
R. Ekonomi Makro: Pengantar Analisis
Pendapatan Nasional. Yogyakarta: Liberti, 1992. Sebagaimana dikutip Nurdin
Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam
Kebijakan Fiskal. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2006.
Zallum, Abdul Qadim. Sistem Keuangan di Negara Khalifah
(al-Amwaal fii Daulah alKhilafah) alih bahasa oleh Ahmad S. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Jurnal dan Sejenisnya
Beik,
Irfan Syauqi dan didin Hafidudin. “Zakat dan Pembangunan Ekonomi Umat”. Makalah Seminar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Medan-Sumatera
Utara, 18-19 September 2005.
Kusniawati.
“Zakat Sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”. Skripsi (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, 2011).
Marimin, Agus. “Baitul Maal
Sebagai Lembaga Keuangan Islam dalam Memperlancar Aktivitas Perekonomian”. Jurnal Akuntansi dan Pajak, Vol. 14 No.
02 (Januari 2014).
Mustaring. “Eksistensi Baitul Maal
dan Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat
Ekonomi Asean”. Jurnal Supremasi Vol.
XI No. 2 (Oktober 2016).
[1]Muhammad, Lembaga
Keuangan Mikro Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 55.
[2]Mustafa Edwin (dkk), pengenalan
Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007), h. 208.
[4]Indonesia Zakat & Development Report, Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat menuju kesejahteraan Ummat, (Ciputat:
Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), 2009). h.
2.
[5]M. Ali Hasan, Zakat
dan Infaq, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 15.
[6]Hikmat Kurnia, dan A Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h.8
[8]Indonesia
Zakat & Development Report, Zakat dan
Pembangunan: Era Baru Zakat menuju
kesejahteraan Ummat, h.80.
[9]Sudiyono
R, Ekonomi Makro: Pengantar Analisis
Pendapatan Nasional, (Yogyakarta: Liberti, 1992), h. 89. Sebagaimana
dikutip Nurdin Mhd. Ali, Zakat Sebagai
Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 95.
[10]Lihat
Irfan Syauqi Beik dan didin Hafidudin, “Zakat
Dan Pembangunan Ekonomi Umat ”, Makalah Seminar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI),
Medan-Sumatera Utara, 18-19 September 2005.
[12]Booming yaitu periode bertambahnya aktifitas ekonomi.
[13]Depresi
yaitu keadaan ekonomi yang lesu yang ditandai dengan kelesuan dunia usaha
hingga mengarah kepada penurunan harga yang berlangsung terus-menerus,
terjadinya penyusutan produksi, banyaknya pengangguran serta melemahnya daya
beli masyarakat.
[14]Indonesia
Zakat & Development Report, Zakat dan
Pembangunan: Era Baru Zakat menuju
kesejahteraan Ummat, h. 94.
[15]Indonesia
Zakat & Development Report, Zakat dan
Pembangunan: Era Baru Zakat menuju
kesejahteraan Ummat, h. 94.
[18]Kusniawati,
“Zakat Sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”, Skripsi (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, 2011),
h.97.
[20]Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khalifah
(al-Amwaal fii Daulah alKhilafah), alih bahasa oleh Ahmad S, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002),
h.94.
[21]Marimin, Agus. “Baitul Maal
Sebagai Lembaga Keuangan Islam dalam Memperlancar Aktivitas Perekonomian”. Jurnal
Akuntansi dan Pajak. Vol. 14 No. 02 (Januari 2014).
[23]Disasmita Sakti Adji, Transportasi dan Pengembangan Wilayah,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h.67.
[24]Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), h.
[26]Abdul
Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h. 160.
[27]Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), h.92.
[28]Abdul
Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Islam
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.187.
[29]Afzalurrahman,
Doktrin Ekonomi Islam, Terj. Soeroyo
(Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf, 1995), h.320.
[30]Mustaring,
“Eksistensi Baitul Maal dan
Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi
Asean”, Jurnal Supremasi Vol. XI No.
2 (Oktober 2016), h.123.
[31]Yusuf
Qardhawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif
Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis,
(terjemahan) Cet. Ke-XII; (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011). h.545-561.
[32]Mustaring,
“Eksistensi Baitul Maal dan
Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi
Asean”, h.124.
[33]Mustaring,
“Eksistensi Baitul Maal dan
Peranannya dalam Perbaikan Ekonomi Rumah Tangga dalam Era Masyarakat Ekonomi
Asean”, h.124.
0 komentar:
Posting Komentar