Kamis, 03 Januari 2013

A. Pengertian Puasa
Puasa secara bahasa berarti menahan diri. Sedangkan secara syar’i yaitu beribadah kepada ALLAH dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.
Pada dasarnya puasa terdiri atas tiga yaitu puasa wajib, sunnah, dan haram:
1. Puasa Wajib
a. Puasa wajib karena waktu, yaitu puasa Ramadhan.
b. Puasa wajib karena sebab, yaitu puasa khafarat dan qadha’.
c. Puasa yang diwajibkan orang atas dirinya, yakni puasa nadzar.
2. Puasa sunnah
a. Puasa Sya’ban






Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. Dahulu berpuasa hingga ami mengatakan, “beliau tidak berbuka,” dan beliau berbuka hingga kami mengatakan, “Beliau tidak berpusasa,”dan aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. Menyempurnakan puasa dalam satu bulan melainkan di bulan Ramadhan, dan ku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dalam satu bulan melainkan di bulan Sya’ban.”
Dari Usman bin Zaid r.a. ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa dalam satu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban,’Beliau menjawab.”Itu adalah satu bulan yang dilupakn oleh manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan, padahal ia adalah bulan dimana amal-amal akan diangkat padanya menuju Rabbul ‘Alamin, aku suka diangkat amalku dalam keadaan aku berpuasa.”
b. Puasa enam hari bi bulan syawal




Dari Abu Ayyub r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan meneruskannya dengan enam hari di bulan Syawal maka seperti puasa sepanjang masa.”
c. Puasa muharram




Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, “Sholat yang paling afdhal setelah sholat wajib adalh sholat ditengah malam, dan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Allah swt. Muharram’.”
d. Puasa ‘arafah dan hari ‘asyura’




Disunnahkan puasa hari ‘Arafah bagi selain jama’ah haji, dari Abu Qatadah r.a. ia berkata. “Rasulullah saw. Bersabda,’Puasa hari ‘Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yang telah lalu dan yang akan datang, dan Puasa Asyura menghafuskan dosa setahun yang telah lalu’.”








Dari Ibnu ‘Abbas r.a. ia berkata,”Rasulullah r.a. datang ke Madinah lalu mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka Rasulullah r.a. bertanya kepada mereka,”Hari apa ini dimana kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung ALLAH swt. Menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, maka beliau berpuasa dalam rangka bersyukur kepada ALLAH swt. Maka kami berpuasa pada hari ini,”Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian, “Rasulullah saw pun kemudian berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.”
Ketika beliau berada pada akhir umur Beliau saw. Beliau ingin menyelisihi kaum Yahudi:


Dari Ibnu ‘Abbas r.a. ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Seandainya aku masih hidup tahun depan aku akan berpuasa pada hari kesembilan’.”

e. Puasa pada hari-hari Putih



Dari Ibnu ‘Abbas r.a. Bahwa Rasulullah saw. Tidak meninggalkan puasa pada hari-hari putihbaik dalam safar maupun dalam kondisi muqim.
Yang dimaksud dengan hari-hari putih ialah tiga hari, tanggall tiga belas, empat belas, lima belas, yakni hari-hari dimana rembulan berada dalam keadaan bulan purnama, dinamakan juga dengan hari-hari bercahaya, dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila engkau hendak berpuasa maka berpuasalah pada hari-hari putih bercahaya; tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas.”
f. Puasa pada hari senin dan kamis
Dari ‘Aisya r.a. bahwa Nabi saw. Membiasakan puasa hari senin dan kamis.
Nabi saw. Telah menjelaskan hikmah beliau membiasakan berpuasa pada dua hari ini:




Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Beliau memperbanyak puasa pada hari senin dan kamis, lalu ditanyakan kepada beliau, lalu beliau bersabda, ‘Amal-amal ditampakkan setiap hari senin dan kamis, maka setiap muslim diampuni kecuali orang-orang yang saling memutuskan hubungan, ‘lalu berkata, ‘Akhirkanlah keduanya’.”
g. Puasa sehari dan berbuka sehari





Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Puasa yang paling dicintai ALLAH swt. Adalah puasa Dawud, ia berpuasa sehari dan berbuka sehari dan sholat yang paling dicintai oleh ALLAH swt adalah sholat Dawud, ia tidur separuh malam, kemudian bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya’.”
h. Puasah sepuluh hari di bulan Dzulhijjah







Dari Ibnu ‘Abbas r.a. dari Nabi saw beliau bersabda, “Tidak ada hari-hari dimana amal sholah di dalamnya lebih dicintai ALLAH daripada hari-hari ini –yakni sepuluh hari- mereka bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fii sabilillah?” Beliau menjawab, “tidak juga jihad fii sabilillah melainkan seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalutidak kembali darinya sedikitpun.”
B. Rukun Puasa
1. Penetapan Niat Puasa
ALLAH swt. Berfirman:
            •      
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Dan sabna Nabi saw “Sesungguhnya amal adalah dengan niat, dan sesungguhnya masing-masing orang mendpatkan sesuatu dengan apa yang dia niatkan.”
Hakikat niat adalah emnyengaja untuk berbuat dalam rangka untuk melaksanakan perinth ALLAH swt. Sehingga kapan saja dia memiliki ‘azm untuk berpuasa dengan hatinya mka telah terelealisasi niatnya, dan tidak harus baginya untuk melafazkan niatnya, bahkan sesungguhnya melafazkan niat adalah bid’ah.
a. Waktu Niat
Puasa bisa berupa puasa wajib dan puasa nafilah. Waktu niat di dalamnya sesuai dengan perincian berikut:
Pertama: Puasa wajib harus berniat pada salah satu bagian di malam hari sebelum fajar, hal tersebut berdasarkan hadits:





Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Rasulullah saw, “Tidak ada puasa bagi yang tidak meniatkan puasa pada malam hari’. “Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang tidak menyengaja berpuasa sebelum fjar maka tidak ada puasa baginya.”
Kedua: Puasa nafilah sah dengan meniatkannya pada pertengahan siang hari dengan syarat tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, baik berupa makan, minum, dan semacamnya, berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a. ia berkata:




Nabi saw. Masuk pada suatu hari lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu?” Kami menjawab, “Tidak,” beliau kemudian mengatakan, “Kalau begitu aku puasa.”  Dalam satu riwayat beliau mengatakan, “Kalau begitu aku akan berpuasa.”
b. Niat untuk setiap hari
Menurut al-Imam asy-Syafi’i rahimakumullah, Abu Hanafih rahimakumullah dan satu riwayat dari al-Imam Ahmad bahwa wajib berniat secara terpisah untuk setiap hari dari hari-hari berpuasa, baik hari-hari tersebut berurutan seperti puasa Ramadhan ataukah tidak, hal tersebut karena setip hari adalah ibadah yang terpisah, dan di antara yang menunjukkan hal tersebut ialah bahwa rusaknya sebagian hati tidak mengharuskan rusaknya yang lainnya.
c. Membatalkan niat
Membatalkan niat adalah berniat untuk berbuka, maka kapan saja ia berniat untuk berbuka maka rusaklah puasanya meskipun ia belum melakukan sesuatu yang menjadikan berbuka, karena niat adalah rukun, dan kontinyuitas hukum niat tersebut adakah syarat sahnya , sehingga kapan saja ia membatalkan dengan sengaja, maka ia telah membatalkan niatnya dan batal puasanya.
2. Menahan Diri
Maksudny yaitu menahan diri dari makan, manum, jima’ sejak terbit fajar shadiq hingga tenggelam matahari.
ALLAH swt berfirman:
•.....    •        .....  
..... dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar....(QS.al-Baqarah: 187)
Dan yang dimaksud benang putih dan benang hitam ialah putihnya siang hari dan hitamnya malam. Dan hal tersebut sebagai berikut:
1. Dari Sahl bin Sa’ad r.a. ia berkata, “Telah diturunkan
.....    •       ....
“.....Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam....,”(QS.al-Baqarah:187) dan belum diturunkan ..... ...“Yaitu Fajar” (QS. al-Baqarah:187). Maka orang-orang ketika ingin berpuasa, salah seorang diantara mereka mengikatkan pada kakinya benang putih dan benang hitam, lalu mereka masih makan hingga nampak jelas baginya keduanya, maka ALLAH swt menurunkan setelah itu ..... ...“Yaitu Fajar” (QS. al-Baqarah:187). Sehingga mereka mengetahui bahwa yang dimaksud ialah malam dan siang.”
2. Dari ‘Ail bin Halim r.a. ia berkata:, “Ketika turun ayat
.....    •       ...
“.....Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam....,”(QS.al-Baqarah:187) aku sengaja mengambil tali hitam dan tali putih, lalu aku letakkan keduanya dibawah bantalku, lalu aku senantiasa melihatnya dimalam hari namun tidak nampak bagiku, “Sesungguhnya yang dimaksud hal itu ialah hitamnya malam dan putihnya siang,  Dan dalam satu riwayat, “Sesungguhnya bantalmu sangat luas –panjang-, namun sesungguhnya yang dimaksud ialah hitamnya malam dan putihnya siang.”

C. Hukum Ru’yatul  Hilal (Melihat Hilal)


Dari ‘Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Hitunglah hilal Sya’ban untuk Ramadhan.”
Pengertian                       yaitu: hitunglah dan telitilah sebaik-baiknya. Hal itu karena bulan kadang-kadang dua puluh sembulan dan kadang-kadang tiga puluh.


Penglihatan adalah yang mu’tabar (yang dianggap) dalam Menentukan Bulan.



Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kita ini adalah kaum yang Ummiyyah, tidak menulis dan tidak berhitung –bukan itu adalah demikian dan demikian- yaitu kadang-kadang dua puluh sembilan dan kadang-kadang tiga puluh.”
Maksud dari hadits itu adalah sesungguhnya kita ini tidak menghitung ketentuan hilal dengan perhitungan bintang, dan bahw yang dianggap dalam hal itu adalah ar ru’yah asy-syar’iyyah yaitu penglihatan yang benar, bukan perhitungan bintang, dan sungguh telah shahih dalam hadits:


Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Apabila kalian terhalang oleh awan, sempurnalanlah tiga puluh hari.”
An-Nawawi berkata: “Puasa itu tidak diwajibkan berdasarkan perhitungan hisab ahli nujum, dan tidak pula kepada selainnya.”
Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya kita mengetahui dengan pasti dalam agama: bahwa pekerjaan melihat hilal puasa dan haji, ‘iddah, sumpah ila’, atau selai itu termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal –dengan berita ahli hisab- bahwasanya terlihat atau tidak terlihat adalah tidak boleh, dan dalil-dalil yang mustafidh dari Nabi saw tentang hal itu banyak.”
Jumlah yang Diperhitungkan dalam Melihat hilal



Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: “Orang-orang berusaha melihat hilal maka aku memberitahu Nabi saw bahwa aku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa.
Beliau saw bersabda:




“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal, dan beribadalah karenanya, apabila kalian terhalang mendung maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang laki-laki telah bersaksi maka berpuasa dan berbukalah kalian,”-dan di dalam riwayat milik Ahmad, “Jika dua orang laki-laki telah bersaksi.
Ibnu ‘Abdil Barr berkata: Para ulama telah bersepakat bahwa tidak diterima persaksian Syawal dalam ‘Idul Fitri kecuali dua orang laki-laki yang adil, dan mereka bebeda pendapat tentang hilal Ramadhan.
Apabila Penduduk Suatu Negeri Melihat Hilal Sementara yang Lain Tidak Melihatnya?
       ••                                         
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.  Dan juga sabda Nabi saw: “Apabila kalian melihat maka hendaklah berpuasa.”
Ayat ini bersifat umum tertuju kepada seluruh umat muslimin, dan telah dimaklumi bahwa yang dimaksud dengan ayat ini bukanlah ru’yah seluruh manusia, karena hal ini tidak memungkinkan, namun yang dimaksud dengannya adalah apabila telah dilihat oleh orang yang bisa ditetapkn masuknya bulan dengan ru’yahnya. Dan ini umum untuk seluruh tempat.
Barangsiapa yang berada disuatu negeri pada awal bulan keudian bersafar menuju negeri yang lain pada pertengahan bulan maka hukumnya adalah ia berpuasa bersama penduduk negeri yang pertama dan berbuka bersama penduduk negeri yang terakhir, karena hukumnya adalah sama dengan hukum penduduknya berdasarkan sabda Rasulullah saw “Puasa ialah hari dimana manusia berpuasa, berbuka adalah hari dimana manusia berbuka.”  Hingga meskipun hal tersebut menyebabkan puasanya menjadi tiga puluh satu hari, apabila bertepatan bahwa ia berpuasa pada dua puluh delapan hari maka ia mengqhada’ satu hari setelah hari raya.

0 komentar:

Posting Komentar